Quo Vadis, Bangsa dan Negaraku

Pada jaman penganiayaan orang-orang Kristen oleh Kaisar Nero, Petrus hendak mengungsi keluar dari kota Roma. Saat Petrus berjalan di Via Apia, Yesus menampakkan diri kepadanya. Dalam keterperangahan serta-merta Petrus bertanya, “Quo Vadis, Domine? Tuhan mau ke mana?” Jawab Yesus, “Ke Roma, supaya disalibkan lagi!” Saat itu juga Petrus menyadari, bahwa Yesus hendak mengorbankan diri lagi untuk keselamatan umat-Nya. Maka Petrus kembali ke Roma, tidak jadi meninggalkan umatnya, yang ternyata kemudian Petrus mati syahid disalib. Yesus mengorbankan diri sekali demi keselamatan umat manusia, dulu, sekarang dan yang akan datang. Yesus tidak pernah ingkar janji selamanya!

Kini dan entah sampai kapan, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia harus prihatin. Hidup terpuruk dilanda berbagai macam krisis. Krisis ekonomi, politik, sosial-budaya, moral, dan keamanan. Kenaikan harga BBM memicu kenaikan harga berbagai macam kebutuhan pokok, biaya hidup melambung tak terjangkau; maraknya pemutusan hubungan kerja dan pengangguran memacu bengkaknya angka kemiskinan. Reformasi politik yang tidak terkendali, menghasilkan elit politik, elit ekonomi dan elit sosial yang oportunistik berebut kedudukan dalam bidang eksekutif, legislatif, judikatif dan kemasyarakatan. Mereka menjadikan bidang tugasnya hanya sebagai komoditas untuk menumpuk kekayaan, mengutamakan kepentingan diri, kelompok dan golongannya sendiri. Sama sekali ingkar pada tugas pelayanannya kepada masyarakat, bangsa dan negara Kehidupan sosial budaya, termasuk hidup beragama, dihinggapi saling ketidak-percayaan, kekerasan, konflik, kebengisan, dendam, terorisme dan kemerosotan peradaban. Mau ke manakah bangsa dan negaraku?

Para Pemuda Pendahulu kita dari berbagai asal, suku dan golongan pada tanggal 28 Oktober 1928 bersumpah mengaku satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa, yaitu Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1945 saat “The Founding Fathers – Para Pendiri Negara” kita, tarik ulur konflik pendapat mengenai dasar negara yang akan didirikan, antara berdasarkan agama Islam atau nasionalis-sekuler, Bung Karno menawarkan dasar negara Pancasila. Semua menerima dengan penuh ketulusan dan menyambut dengan sorak tepuk tangan gegap gempita. Dalam negara yang berdasarkan Pancasila, semua suku, golongan dan penganut agama dapat hidup bersama sebagai saudara sebangsa, setanah air dan sebahasa, Indonesia. Pancasila merupakan jawaban yang mendamaikan konflik yang berkepanjangan saat akan mendirikan negara.

Dalam Sarasehan Nasional Pancasila di Jakarta pada tanggal 27 September 2005, bertempat di Aula Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan R.I., Pastor Franz Magnis Suseno antara lain mengatakan bahwa, dilihat dari proses terjadinya Pancasila itu menunjukkan dengan jelas bahwa sebenarnya Pancasila merupakan kesepakatan rakyat Indonesia untuk membangun sebuah negara, yang di dalamnya semua warga masyarakat sama kedudukannya, sama kewajiban dan sama haknya.
Semua warga masyarakat, tanpa diskriminasi, tanpa membedakan suku, ras, etnik dan agama masing-masing, termasuk antara yang mayoritas dan yang minoritas, sama-sama menikmati hak-hak dasar sebagai warga negara dan sebagai manusia. Konsensus maha penting itu nampak amat jelas pada tanggal 18 Agustus 1945, kelompok “Islamis” dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia bersedia mencoret tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sesudah “Ketuhanan”, yang semula disepakati sebagai “Piagam Jakarta”. Hal itu berarti golongan mayoritas rela tidak diberi kedudukan khusus di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, demi persatuan bangsa. Kerelaan tersebut merupakan tanda kebesaran komitmen pada persatuan bangsa. Karena itu, Pancasila adalah kompromi nasional agung serta pernyataan resmi Republik Indonesia bahwa di dalamnya semua warga negara sama kedudukannya.

Dengan demikian jelas juga: melepaskan, mengebiri, mengubah Pancasila adalah sama dengan pembatalan kesepakatan bangsa untuk bersama-sama mendirikan Negara Republik Indonesia. Menyentuh Pancasila berarti rnenyentuh eksistensi negara dan bangsa Indonesia. Seluruh pluralitas yang ada dari Sabang sampai Merauke hanya bersedia masuk ke dalam Republik dengan ibu kota Jakarta ini atas dasar persetujuannya kepada Pancasila. Maka main-main dengan Pancasila tidak boleh diizinkan. Menyentuh Pernbukaan Undang-undang Dasar 1945 sama dengan mempersiapkan serangan teroris pada keutuhan bangsa.
Mampukah Pancasila menjadi solusi jawaban terhadap keterpurukan yang sedang melanda masyarakat, bangsa dan negara sekarang ini. Dengan tegas dan penuh keyakinan Pancasila tentu dapat dan mampu melepaskan masyarakat, bangsa dan negara dari keperpurukan, dengan syarat masyarakat, bangsa dan negara tidak ingkar janji pada kesepakatan atau kompromi nasional agung saat pembentukan negara dengan jalan melaksanakan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Tidak seperti zaman orde-orde sebelumnya, menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan otokratif, sebab Pancasila mewajibkan penyelenggaraan kekuasaan secara demokratik, humanistik, nasionalistik, sosialistik. Pancasila mengajarkan agar setiap orang benar-benar beriman. Sebagai umat beriman, (apa pun agamanya), kita harus mempunyai spiritualitas hidup, —memahami makna, motivasi dan tujuan hidupnya,— diaktualisasikan dalam sikap, tutur kata, tingkah laku dan perbuatan dalam pergaulan dengan sesama dan dalam melaksanakan tugas kewajiban sesuai dengan fungsi yang diembannya demi kesejahteraan bersama, bukan kesejahteraaan orang-seorang atau suatu golongan saja. Pancasila mewajibkan anak bangsa Indonesia hidup dalam masyarakat yang inklusif, mampu saling menerima dirinya satu dengan yang lain apa pun latar belakang asal-usulnya, sukunya, golongannya, agamanya, pendidikannya, warna kulitnya, dan sebagainya. Pahami dan aktualisasikanlah.
Semoga!

Oleh: B.Parmanto

Dimuat dalam Majalah Gema Matius Jakarta

No.9 Tahun II, November 2005

Explore posts in the same categories: Pancasila

Leave a comment