DUNIA PENDIDIKAN KITA

DUNIA PENDIDIKAN KITA

TANGGAL 2  Mei adalah Hari Pendidikan Nasional. Biasanya masyarakat memperingati hari yang penting ini dengan pembicaraan, diskusi atau sekedar tukar pikiran yang memusatkan pada dunia pendidikan. Mungkin ada yang menyoroti betapa mahalnya pendidikan di negeri kita ! Ada pula yang merasa ngeri jika pendidikan sekedar upaya untuk memperoleh secarik kertas yang dinamakan “ijazah”, suatu formalitas untuk mengukur “kemampuan” seseorang melalui institusi “resmi” pendidikan atau sekolah.

Tetapi lebih ngeri lagi jika kita mengamati kejadian-kejadian di sekitar kita akhir-akhir ini. Misalnya, tawuran antar kampung atau antar desa; demo yang merusak berbagai fasilitas umum ataupun fasilitas pribadi, bahkan pelajar atau mahasiswa yang merusak gedung sekolah  atau gedung kuliahnya sendiri; dan masih banyak lagi.

Makin miris lagi jika pejabat pemerintah maupun pejabat negara dan rakyat pada umumnya tidak dapat membedakan uang negara dan uang pribadi; uang rakyat dan uang pribadi. Keinginan pendidikan yang lebih baik dan lebih tinggi, harus dengan imbalan menyediakan uang yang banyak. Jika tidak punya uang jangan harap memperoleh pendidikan yang memadai.

Semua diukur dengan uang, keadilan diukur dengan uang, kebenaran diukur dengan uang, bahkan kejujuranpun diukur dengan uang. Sikap dan peri laku hanya sekedar sikap dan perilaku yang formalistis, yang ujung-ujungnya uang pula. Bukan sikap dan peri laku yang sesungguhnya yang berlandaskan etika dan moral kebangsaan.

Seandainya hal-hal negatif tersebut di atas ditumpahkan kesalahannya pada dunia pendidikan, apakah anda keberatan ? Utamanya para pejabat di kementerian pendidikan, para guru dan para orangtua mungkin sangat keberatan !

Baiklah jika demikian halnya, marilah dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional ini kita bersama-sama membuat renungan secara jujur. Bukankah ada pemeo, siapa menanam padi, ia akan menuai padi pula. Adakah seseorang yang menanam padi, di kemudian hari akan menuai kacang ? Apa sesungguhnya yang telah ditanam oleh bangsa Indonesia selama ini, sehingga hari ini menuai kejadian-kejadian seperti telah disebutkan di atas ?

Transformasi nilai-nilai.

DENGAN pendidikan sesungguhnya apa yang kita inginkan ? Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara kita menyatakan bahwa pemerintah negara Indonesia berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. “Mencerdaskan kehidupan bangsa” haruslah diartikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan bangsa untuk menyerap ilmu dan pengetahuan, menanamkan dalam diri bangsa sifat-sifat yang menunjukkan sikap dan peri laku berbudaya (beradab), menanamkan sikap jujur dan adil, sikap berpersatuan serta sikap bertakwa dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Jika hal-hal seperti tersebut yang kita inginkan dari pendidikan, artinya pendidikan kita harus mentransformasikan nilai-nilai, yaitu:

Pertama, transformasi nilai-nilai ilmu dan pengetahuan.

Transformasi nilai-nilai ilmu dan pengetahuan pada diri mansia menghasilkan manusia yang cerdas, terampil dan mampu mengatasi tantangan dalam kehidupannya. Pengetahuan manusia mengenali lingkungan alamnya, lingkungan masyarakatnya dan mengenali dirinya sendiri menghasilkan budaya dan ilmu untuk memelihara dan melanjutkan eksistensi manusia dalam lingkungan alam dan lingkungan masyarakatnya. Nilai budaya yang meliputi ilmu dan pengetahuan tersebut diwariskan kepada dan diserap oleh generasi manusia berikutnya secara berlanjut. Dengan demikian manusia tidak perlu menggali pengetahuan dari awal lagi, melainkan tinggal meneruskan dan mengembangkan warisan budaya manusia terdahulu. Hingga saat ini ilmu dan pengetahuan manusia telah berkembang dengan pesat. Oleh sebab itu nilai ilmu dan pengetahuan sangat perlu dan sangat utama untuk dikuasai oleh suatu bangsa dari generasi ke generasi. Antar bangsa-bangsa di dunia saat ini bersaing ketat untuk saling menguasai, baik menguasai lingkungan alamnya maupun lingkungan manusianya, guna mempertahankan eksistensi bangsa masing-masing. Bangsa yang mampu menguasai ilmu dan pengetahuan akan menguasai dunia.

Kedua, transformasi nilai-nilai kemanusiaan.

Nilai-nilai kemanusian adalah nilai yang timbul dari hubungan antar manusia yaitu nilai-nilai kebajikan. Kebajikan bukan hanya untuk sekelompok manusia melainkan kebajikan yang adil untuk semua manusia, deliciae humani generis (kebajikan bagi semua manusia). Deliciae artinya kehalusan budi pekerti. Bagi bangsa Indonesia nilai kemanusiaan tersebut ialah “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Penjajahan dan pemaksaan kehendak oleh satu bangsa terhadap bangsa lain yang berkedok kemanusiaan, bagi bangsa Indonesia bukan kemanusiaan. Hal itu tidak adil bahkan bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang beradab. Nilai kemanusiaan mengandung pula nilai persatuan, yaitu persatuan sebagai satu bangsa. Nilai persatuan lebih lanjut menunjukkan atau mewujudkan nilai kebangsaan.  Sedangkan dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa di dunia, nilai kemanusiaan mengandung pula nilai persahabatan (friendship, amity atau fraternity) yang setara dan adil untuk mewujudkan perdamaian.

Ketiga, transformasi nilai-nilai ketuhanan.

Dengan meyakini dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, manusia akan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa pula, yaitu melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dengan beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa manusia akan bersikap dan berperilaku sesuai dengan dan seperti  sifat-sifat yang dimiliki Tuhan. Misalnya, bersikap adil, baik, pengasih dan penyayang (sesama manusia), bijaksana, pemaaf dan sebagainya. Manusia yang mampu menghayati nilai-nilai ketuhanan, ia akan menjadi manusia yang baik, manusia sejati (insan kamil) bukan manusia sebagai spesies makhluk hidup (basyar), yang sederajat dengan makhluk lain, seperti: hewan dan tumbuh-tumbuhan  Melainkan manusia yang memiliki cahaya (nur) yang senantiasa mengarahkan (menunjukkan, mencerahkan) diri manusia kepada hal-hal yang baik dan benar. Manusia seperti ini dengan bahasa awam dikatakan memiliki hati nurani (hatinya disinari cahaya atau nur).

Sehingga melalui pendidikan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai upaya menanamkan tiga kelompok nilai-nilai tersebut kepada seseorang, diharapkan seseorang menjadi manusia Indonesia yang utuh, yang berkembang kecerdasannya (intelektualnya), kepribadiannya (jiwanya) dan kalbunya (hati nuraninya). Pendidikan diharapkan mampu membentuk manusia yang cerdas, berbudaya (beradab) dan bersusila atau bermoral.

Pendidikan di Indonesia saat ini.

BAGAIMANA potret pendidikan di Indonesia sampai sekarang ini ? Marilah kita coba mengamati kenyataannya: (1) Pendidikan itu mahal; (2) Pendidikan gratis itu hanya silat lidah atau bim salabim; (3) Tidak ada kebijakan pendidikan nasional yang baku; (4) Tidak ada standarisasi kurikulum pendidikan nasional; (5) Tidak ada standarisasi fasilitas pendidikan nasional; (6) Tidak ada standarisasi mutu pendidikan nasional.

Bahkan antara sekolah negeripun sekarang dibeda-bedakan, ada sekolah negeri standar internasional (tentu saja dengan biaya mahal), sekolah negeri biasa (lebih murah dari yang standar internasional) dan sekolah negeri yang seadanya. Persyaratan untuk masuk ke sekolah-sekolah tersebut apa ? “Do it” ! Artinya bukan “kerjakanlah’, melainkan lafal bacaannya: “du wit” alias uang ! Lagi-lagi uang !

Belum lagi uang ekstra yang harus dibayar untuk biaya: ujian tengah semester dan ujian akhir semester untuk kelas  1 s/d 5, kelas 7 dan 8, kelas10 dan 11. Bagi kelas 6, kelas 9 dan kelas 12 ada biaya ujian sekolah, ujian lokal dan ujian nasional ! Belum lagi biaya seragam dan biaya pat gulipat lainnya. Berapa biaya transpor dari tempat tinggal murid ke lokasi sekolah ? Apakah Pemerintah mampu menyediakan bis sekolah atau angkutan lain secara gratis ? Siapa berani berkampanye bahwa sekolah itu gratis ?

Tidak perlu mencari jauh-jauh di luar Jawa. Di Jawa pun, bahkan di Jakarta di ibukota Republik Indonesia, masih banyak orangtua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya, karena sekolah biayanya mahal ! Banyak anak putus sekolah bahkan banyak anak yang belum pernah sekolah.

Biaya pemilihan umum untuk kepala daerah seluruh Indonesia, biaya Pansus dan Pan-pan DPR lainnya, biaya bail-out Bank Century dan pajak yang masuk kantong pribadi pegawai pajak, jika untuk anggaran pendidikan dapat membangun berapa gedung sekolah dan berapa murid sekolah dapat ditampung ? Rakyat berhak menagih janji !

Membenahi pendidikan.

Akhir-akhir ini ramai dikumandangkan mengenai reformasi birokrasi. Apakah birokrasinya ada yang tidak benar ? Atau mungkin birokrasinya sudah benar tetapi manusianya yang menduduki birokrasi tersebutlah yang tidak benar. Birokrasi itu hanyalah sistem ! Apakah sistemnya yang keliru atau manusianya yang salah menduduki atau salah didudukkan di birokrasi ? Apakah ada “the right man in the wrong place”, atau “the wrong man in the ringht place” atau, “the wrong man in the wrong place” ?

Kerunyaman, kecarut-marutan dan krisis multidimensi yang terjadi sekarang ini yang keliru birokrasinya ataukah moral birokratnya yang bobrok ? Kalau terjadi korupsi yang salah birokrasinya ataukah mental birokratnya yang bobrok ?

Jika mengamati kenyataan yang terjadi, manusianya yang harus direformasi, yang harus dibenahi moralnya atau akhlaknya ! Jika kita sudah sepakat melaksanakan reformasi moral birokrat, maka pendidikanlah yang harus dibenahi. Penalarannya sebagaimana telah dikemukakan menggunakan analogi “menanam dan menuai”.

Kebobrokan moral para birokrat sekarang ini (tentu saja tidak semuanya, karena masih banyak yang baik moralnya), adalah hasil 20 atau 25 tahun “masa tanam” yang lalu. Sebagai contoh misalnya, membangkitkan semangat kebangsaan bangsa Indonesia melalui pendidikan yang dimulai pada tahu 1908 (Kebangkitan Nasional), hasilnya baru dapat dituai pada tahun 1928. Di Kongres Pemuda yang para pemudanya (putera-puteri Indonesia) berani menyatakan pengakuan sebagai bangsa Indonesia, mempunyai tanah air Indonesia dan berbahasa persatuan bahasa Indonesia. Bukankah hal ini hasil pendidikan kebangsaan yang luar biasa ?

Oleh sebab itu jika sekarang bangsa Indonesia tidak membenahi pendidikan sebagai ajang peningkatan kualitas dan semangat kebangsaan sumber daya manusia Indonesia, maka 20 atau 30 tahun yang akan datang bangsa Indonesia akan lenyap dari bumi Indonesia. Bangsa Indonesia akan kembali menjadi bangsa kuli di antara bangsa-bangsa di dunia.

Moral bangsa Indonesia bersumber dari budaya Indonesia yang mengejawantah dalam semangat kebangsaan. Bangsa Indonesia yang bermoral adalah bangsa yang mempunyai rasa malu menyakiti dan menyederai rakyatnya yang sesungguhnya adalah pemilik kedaulatan sebagai sumber kekuasaan negara. Rakyat Indonesia akan sakit hati jika bangsanya digelari bangsa koruptor, bangsa “markus” yang hanya mengejar kepentingan sesaat untuk kelompoknya dan mengejar kepentingan-kepentingan duniawi untuk kemewahan sesaat.

Rakyat Indonesia sangat malu jika bangsanya hanya menjadi bangsa kuli di antara bangsa-bangsa di dunia. Rakyat Indonesia akan kecewa jika bangsanya tidak mampu bangkit untuk mempertahankan kedaulatan dan kehormatan bangsanya serta hanya menjadi bangsa pengekor yang tidak memiliki jatidiri kebangsaan sebagai bangsa Indonesia.

Pendidikan haruslah dapat mentransformasikan nilai-nilai ilmu dan pengetahuan, nilai kemanusiaan dan nilai ketuhanan serta diisi dengan semangat, moral dan jatidiri kebangsaan Indonesia. Hanya dengan semangat, moral dan jatidiri kebangsaan maka bangsa Indonesia dapat keluar dari krisis yang dialami selama ini. Reformasi pendidikan untuk mewujudkan moral kebangsaan ! Ini yang harus kita lakukan sekarang juga. Jangan ditunda-tunda lagi ! (Hernowo Hadiwonggo. LPPKB).

Explore posts in the same categories: Uncategorized

Leave a comment