seminar

Posted March 28, 2009 by redaksilppkb
Categories: Uncategorized

LPPKB GELAR SEMINAR

PERAN PENDIDIKAN MEWUJUDKAN DEMOKRASI.

03 November 2001

Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (LPPKB), sebuah organisasi sosial kemasyarakatan independen, Sabtu, 3 Nopember 2001 di Graha Kencana mulai pukul 08.00 akan menggelar seminar bertema ‘Mewujudkan Demokrasi Melalui Pendidikan’. Seminar tersebut merupakan salah satu kegiatan yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang faham akan makna demokrasi dan mampu melaksanakannya, faham akan HAM dan mampu memperjuangkan serta menerapkannya dan faham akan hukum dan mampu menegakkannya.

Ir.Pranowo, Ketua Panitia Pengarah (SC) didampingi Ketua Pelaksana (OC) Sis Hendarwati dalam pertemuan pers, Kamis, menjelaskan LPPKB didirikan dilatar belakangi semangat pengabdian kepada bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, keinginan untuk turut serta merealisasikan amanat rakyat sebagaimana tertuang dalam Tap MPR-RI dalam era reformasi serta dipacu oleh keprihatinan yang mendalam atas terancamnya norma kehidupan dalam masyarakat sebagai dampak negatif dari euphoria kebebasan dan keterbukaan.

Dengan visi “Turut serta membangun masyarakat Indonesia yang religius, bebas, maju, berakhlak mulia, berbudipekerti luhur, bertanggung jawab, dinamis dan kreatif, dengan misi “Turut serta melaksanakan ‘nation and character building’, LPPKB bertekad menyumbang- kan andilnya mewujudkan warganegara yang berwawasan kebangsaan berkadar tinggi.

Untuk mendukung visi dan misi tersebut, Penanggung Jawab Program Seminar LPPKB, Prof.Sunarti Sudomo, MD Ph.D, berkata LPPKB akan dan telah melakukan berbagai kegiatan pengkajian bersama beberapa lembaga pendidikan tinggi yang bertujuan mewujudkan warganegara yang berwawasan kebangsaan berkadar tinggi.

Tampil sebagai pembicara pada Seminar yang akan dihadiri 200 peserta, tokoh-tokoh di bidang pendidikan yaitu: Prof.DR.Conny Semiawan dengan topik Kurikulum Pendidikan dalam Mewujudkan Demokrasi; Soeprapto M.Ed. membawakan topik Merealisasikan Demokrasi Melalui Pendidikan Tinggi. Sedangkan topik Peran LSM dalam mendukung Pelaksanaan Demokrasi akan disampaikan Dra.Dewi Motik Pramono; Dra.Soemarni MPA, salah seorang Deputy Menteri Pemberdayaan Wanita akan membawakan makalah tentang Merealisasikan Demokrasi dalam Program Jender dan DR.Arief Rachman, praktisi pendidikan, akan membawakan topik Menciptakan Demokrasi dalam Sistem Pendidikan.

Dalam seminar yang sangat padat tersebut diharapkan dapat diserap masukan lisan maupun tertulis dari peserta. Pada kesempatan tersebut pihaknya sangat menghargai usulan perlu diterbitkannya komik atau buku sebagai bacaan ringan tentang arti demokrasi yang disajikan sesuai usia pembacanya.

ruu pornografi

Posted October 27, 2008 by redaksilppkb
Categories: Uncategorized


Selamat (akan/tidak) datang

Undang-undang Pornografi ?!

Dalam bulan suci Ramadhan yang baru lalu, atau setidak-tidaknya sampai sekarang ini, ada usaha untuk memaksakan pengesahan RUU Pornografi menjadi undang-undang. Dalam Harian Kompas 17 September 2008, budayawan-rohaniwan-filosof Franz Magnis-Suseno SJ, menengarai undang-undang tersebut sebagai Undang-undang yang Porno. Pendapat tersebut kiranya tidak perlu dipersoalkan, karena maksudnya tidak lain hanyalah mengingatkan kepada legislator dan kita semua untuk menempatkan masalahnya secara proporsional. Negara tidak seharusnya mengatur hal-hal yang menyangkut kehidupan privat dan moral warganegaranya. Sekiranya RUU tersebut tetap diundangkan, mungkin – sekali lagi mungkin — nantinya dapat dibentuk tenaga-tenaga reserse yang tugasnya mengintip masalah-masalah pribadi, “pornografi” dalam kehidupan privat, seperti persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau alat kelamin (istilah dalam Pasal 4 RUU Pornografi). Hampir seluruh pasal undang-undang tersebut multi tafsir. Tidak mampu memberikan definisi yang jelas dan tegas (clear cut defination) arti dan maksud dari masing-masing pasalnya, kecuali pasal mengenai sangsi dan hukuman. Kenyataan tersebut tentu akan selalu menimbulkan pro-kontra penafsiran yang ujung-ujungnya adalah konflik antar mereka yang bersangkutan. Apakah memang itu yang dikehendaki badan legislator kita, timbulnya perpecahan masyarakat dan bangsa, atau tumbuhnya diktator mayoritas dan totaliterisme? Tulisan ini sengaja tidak memasuki materi RUU, melainkan sekedar akan menelaah latar belakang pemikiran dan merekonstruksi penalaran timbulnya usaha penyusunan RUU Pornografi tersebut.

Latar belakang pemikiran

Tahun 1998 ditengarai sebagai timbulnya krisis keuangan, kemudian melebar menjadi krisis ekonomi dan meluas menjadi krisis multi dimensi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terjadilah pergantian pimpinan pemerintahan nasional yang kemudian mengadakan reformasi dalam berbagai bidang. Nampaknya dalam mengadakan reformasi menggunakan pendekatan komprehensif, salah satu di antaranya pendekatan constitutional reform dan institutional building.

Wujud praksis pendekatan tersebut secara cepat diadakan perubahan mendasar dalam bidang perundang-undangan. UUD 1945 yang belum pernah sepenuhnya kita laksanakan selama itu, dalam kurun waktu lebih kurang tiga tahun (1999-2002) sudah diamandemen empat kali. Suatu perubahan cepat yang tiada taranya di seluruh muka bumi ini. Mengapa diamandemen secepat itu terhadap hukum dasar negara kita. Kiranya jelas penalarannya adalah UUD 1945 menjadi kambing hitam sebab keterpurukan bangsa dan negara saat itu. Konstitusilah yang bertanggungjawab, bukan para penyelenggara negaranya. “Buruk muka cermin dibelah”! Selanjutnya dibentuklah berbagai badan/komisi, seperti Mahkamah Konstitusi, Dewan Pemerintahan Daerah, berbagai macam komisi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi Ombudsman, Komisi Kejaksaan, Komisi Pemilihan Umum, dan sebagainya. Semua langkah tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan di bidang legeslatif, yudikatif dan eksekutif.

Sepintas lalu pendekatan constitutinal reform dan instutional building tersebut wajar dan nalar. Namun ternyata selama ini perbaikan kehidupan masyarakat dan bangsa yang didambakan Rakyat banyak belum sepenuhnya terwujud. Keadaan nampaknya justeru berbicara lain, korupsi berkecamuk di kalangan para pejabat legeslatif, yudikatif dan eksekutif. Selama ini Rakyat telah menyaksikan adanya Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Duta Besar, Anggota DPR/D, Anggota Komisi, Polisi, Jaksa, Otoritas Moneter dan sebagainya yang terlibat dalam tindak korupsi. Lebih menyedihkan lagi Menteri yang bertanggungjawab di bidang kehidupan beragama pun juga terperosok di dalam tindak korupsi. Pada hal saat itu telah diberlakukan Ketetapan MPR-RI No.Vl/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, yang antara lain mengemukakan ketentuan bahwa dalam kehidupan berbangsa (wajib) “mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa”. Diyakini bahwa sebagai pejabat negara atau pejabat publik tentu telah memahami dan menghayati relevansi Ketetapan MPR tersebut dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Namun nampaknya Ketetapan MPR tersebut sama sekali diabaikan dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka. Sekiranya tidak diabaikan, tetapi dijadikan dasar moral dan acuan dasar penyelenggaraan kehidupan bernegara, diyakini tentu keadaan jauh lebih baik dan tidak perlu negara mengeluarkan beaya sosial, politik dan ekonomi yang sangat besar.

Pendekatan constitutional reform dan institutional building tersebut apabila tidak dibarengi dengan penalaran yang didasarkan pemikiran yang mendalam, akan terjebak pada sikap dasar banalism, asal jadi apa yang dimaui. Selayaknya pendekatan tersebut dibarengi dengan pemikiran yang mendalam atau introspeksi secara komprehensif, dalam arti mendalami permasalahannya, peraturan peruntang-undangannya yang ada, dan siapa sebenarnya yang harus bertanggungjawab terhadap keadaan yang akan diatur/diperbaiki. Demikian juga halnya dalam masalah RUU Pornografi, nampak jelas terjebak pada pendekatan banalism.

Penalaran Banal

Penalaran dasar Penggagas RUU Pornografi sepintas boleh dikatakan sangat mulia dan nalar. Konon didorong rasa keprihatinan maraknya berbagai macam “pornografi” yang dikatakan merusak moral anak/generasi muda, masyarakat dan bangsa, legislator terpanggil untuk memberantas dan mencegah bahaya “pornografi” melalui peraturan perundang-undangan. Dengan adanya undang-undang dimaksud, dengan sendirinya masyarakat akan terlindungi dari bahaya “pornografi”. Selanjutnya akan dapat dengan mudah “akhlak mulia” terbangun di kalangan anak-anak/generasi muda, masyarakat dan bangsa. Saking yakinnya atas penalaran yang banal tersebut sampai-sampai menghalalkan segala cara, misalnya pembahasan RUU yang tidak mengikuti mekanisme yang diatur dalam UU No.10 Tahun 2004, banyak voting yang dipaksakan dalam situasi yang tidak memenuhi kuorum, tanda tangan anggota Panja yang dipalsukan untuk memenuhi voting yang setuju pembahasan RUU diteruskan, anggota Panja yang tidak hadir dalam rapat dinyatakan sebagai suara yang setuju (Majalah Hidup No.40 Tahun ke-62, 5 Oktober 2008, halaman 39), sosialisasi yang sangat bias dengan sampel yang sama sekali tidak representatif. Pembahasan yang cenderung merupakan pemaksaan, diskusi yang seharusnya argumentatif akademik terjebak pada debat kusir yang asal berani bicara keras memaksa mengandalkan kekuatan. Nampaknya segala cara dihalalkan untuk mencapai tujuan. Banalism dalam penyusunan undang-undang seperti itu sebaiknya harus dihindarkan dalam republik ini, seharusnya setiap penyusunan peraturan perundang-undangan didasarkan pada pemikiran “salus populi suprima lex”, demi terwujudnya “res publica”. Mungkinkah akan membangun moral bangsa dengan cara yang tidak bermoral seperti itu, atau ada motif lain, misalnya akan merusak moral bangsa yang bhinneka tunggal ika dan Pancasila sebagai dasar negara ?! Mengapa RUU Pornografi dapat disusun, yang konon tidak termasuk Prolegnas 2008?!

Banalism dalam kalangan (sementara) anggota DPR yang terhormat dewasa ini, bukan hanya dalam hal penyusunan perundang-undangan saja, melainkan hampir dalam setiap kegiatan legeslatif dijadikan ladang pemupukan kekayaan pribadi, keluarga atau mungkin partainya, tanpa memikirkan akibatnya baik bagi dirinya sendiri, keluarganya, terlebih-lebih bagi kehidupan masyarakat dan bangsa. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain dipraksiskan dalam uji kelayakan terhadap calon pejabat publik tertentu, perjalanan studi banding ke luar negeri, perubahan tata ruang di daerah, pengaturan proyek-proyek tertentu, dan sebagainya.

Mencermati kehidupan masyarakat luas dewasa ini, banalism nampak telah menghinggapi juga berbagai bidang kehidupan masyarakat luas, tak terkecuali melanda sementara para pendukung profesi tertentu, bahkan termasuk penyandang predikat akademiknya yang mentereng. Suatu misal dapat diangkat di sini, dalam surat kabar Pelita, 22 September 2008 ada yang mengemukakan pendapatnya, “RUU tersebut merupakan bagian dari upaya anak bangsa mengamankan ideologi Pancasila. Jika ada yang tidak setuju RUU tersebut disahkan menjadi UU, maka itu adalah suatu ancaman terhadap ideologi Pancasila …” Bukankah itu suatu pendapat yang sangat banal, pendapat yang tidak didasarkan dialog yang argumentatif akademik, melainkan dialog yang sangat dangkal dan menjadikan dirinya sendiri yang paling benar. Sama sekali tidak memahami bahwa dalam Pancasila justeru mengedepankan semangat musyawarah dan mufakat, bukan semangat “menang-menangan” atau asal menang belaka. Jangan-jangan hanya akan menggunakan kata “Pancasila” sebagai alat pembunuh lawan bicara belaka, pada hal sama sekali tidak memahami makna Pancasila dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Perkenankanlah kini menyelisik penalaran usaha penyusunan RUU Pornografi dari penalaran yang gampang dan mudah dipahami masyarakat luas, yaitu penalaran yang didasarkan atas mawas diri atau introspeksi.

Penalaran dengan mawas diri

Permasalahan pornografi dewasa ini dikatakan merebak dalam masyarakat luas dan merupakan permasalahan yang multi dimensional, menyangkut berbagai segi kehidupan masyarakat luas. Penyelesaian permasalahannya dengan sendirinya harus menggunakan pendekatan multi dimensional juga. Bukan sekedar diselesaikan dengan peraturan perundang-undangan yang dimensinya justeru sangat sempit dan menyangkut ranah privat yang bukan ranah yang seharusnya diatur oleh undang-undang. Di samping itu, mengenai masalah pelanggaran atau kejahatan pornografi sudah banyak diatur dalam KUHP, Undang-undang Penyiaran dan peraturan perundangan lainnya. Persoalannya selama ini bukan masalah peraturan perundang-undangannya, melainkan masalah penegakan hukumnya yang tidak tegas, dan pejabat pelaksananya yang tidak jarang memainkan peraturannya demi kepentingan tertentu. Di sini kiranya yang perlu dibenahi bukan peraturannya, melainkan pejabat pelaksana hukum dan penegakannya.

Kini persoalan mengenai siapa yang bertanggungjawab atas maraknya “pornografi” dalam masyarakat luas yang dikatakan merusak anak-anak/generasi muda. Apabila berani mawas diri secara jujur, kiranya yang bertanggungjawab atas maraknya “pornografi” di dalam masyarakat tentunya para generasi tua dalam segala bidang profesi. Diawali dari para orang tua, guru, pejabat pemerintahan dalam semua tingkat dan bidang, pimpinan dari berbagai agama, tokoh masyarakat dan sebagainya. Umumnya mereka sibuk menghabiskan waktu untuk mencari uang. Banyak dari mereka tidak mampu menjadi contoh, namun bisa memberi contoh dalam bentuk kata-kata atau hanyalah menasehati saja, tetapi tidak menghayati apalagi melakukan apa yang dinasehatkan. Cermati makna kata “memberi” dan “menjadi” contoh. Kehidupan lapisan masyarakat (para elit) yang seharusnya menjadi teladan, kini terjebak dalam kehidupan yang hipokrit. Pendidikan agama marak di mana-mana, baik dalam lingkungan masyarakat melalui perkumpulan keagamaan, sekolah maupun melalui berbagai media masa, dan sebagainya. Nampaknya saking maraknya pendidikan agama tersebut cenderung bersifat pengajaran, sebatas dapat melaksanakan secara ritual, vokal dan mekanistik belaka, belum mampu mengamalkan religiositas secara sosial dengan mengembangkan kesalehan sosial dan kerukunan sosial sebagai warga bangsa yang plural. Pendidikan budi pekerti diabaikan, dianggap pendidikan agama sudah cukup mencakup semuanya termasuk budi pekerti. Cermatilah para pelaku korupsi, selingkuh, atau pelaku pornografi lainnya yang kebetulan merambah pada (sementara) para legeslator juga. Montesquieu berpendapat, apabila korupsi merambah badan legeslatif, hal itu merupakan pertanda kerapuhan dan awal kejatuhan suatu negara. Diyakini masih tidak sedikit para legeslator yang bersih, namun ingat ungkapan “Nila setitik rusak susu sebelanga”. Berapa persen kandungan melamin susu import dari Cina, kiranya tidak terlalu besar, namun cukup membunuh banyak bayi dan merusak kesehatan orang banyak. Marilah kita mawas diri bersama!

Solusi yang ditawarkan

Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan hendaknya secara konsisten mendasarkan diri pada setiap peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya menjadikan Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2001 sebagai dasar moral setiap langkah pelaksanaan tugas sesuai dengan bidang masing-masing. Selanjutnya jadikanlah nilai Pancasila sebagai tolok ukur setiap pemecahan masalah yang dihadapi.

Jadikanlah pegangan ungkapan “salus populi suprima lex”, kesejahteraan masyarakat merupakan hukum tertingi, dalam setiap langkah pemikiran, perencanaan dan pelaksanaan tugas masing-masing.

Hindarilah sikap banalism, “asal jadi yang dimaui”, tanpa memikirkan akibatnya yang luas di kemudian hari baik bagi diri sendiri, maupun bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Pikirlah dalam-dalam secara introspektif dalam setiap usaha mengadakan perubahan atau pengaturan dan hindarkan pemikiran mencari kambing hitam. Hindari pula sikap menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tempuhlah cara yang wajar, nalar, musyawarah, mufakat, argumentatif, akademik, beretika dan bermoral, mengutamakan berkembangnya kesalehan sosial dan kerukunan berbangsa. Marilah hal-hal tersebut di atas kita praksiskan bersama, diawali dari diri kita sendiri masing-masing sebagai suatu niat untuk berbakti kepada masyarakat, bangsa dan negara agar dapat terhindar dari keterpurukan, termasuk ancaman bahaya “pornografi”.

Solusi yang ditawarkan secara umum tersebut kiranya berlaku juga dalam rangka perampungan penyusunan RUU Pornografi menjadi UU. Dengan segala kekurangan yang ada, gagasan ini diakhiri dengan ungkapan fenomenal dari Presiden J.F. Kennedy, “Ask what you can do for your country, don’t ask what your country can do for you”. Terimakasih dan Selamat (akan/tidak) datang Undang-undang Pornografi !

Jakarta, 17 September 2008

B. Parmanto,

Anggota LPPKB

Dimuat dalam Surat kabar Pelita, Jakarta, 25 Oktober 2008

Posted March 6, 2013 by lppkb by. Sony
Categories: Uncategorized

E d i s i  2

 

POSTULAT  PANCASILA

Garuda 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

           
     
 

LEMBAGA PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN

KEHIDUPAN BERNEGARA  (LPPKB)

2012

 

 
 
     

 

 

 

 


POSTULAT  PANCASILA

 

 

 

Pengantar

 

 

Berikut disampaikan postulat Pancasila untuk dapat dipergunakan sebagai pegangan bagi siapa saja yang berusaha untuk mengimplementasikan Pancasila, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara, sebagaimana yang tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

 

Postulat yang dalam bahasa Inggrisnya postulate diberi makna “a statement that is assumed as an axiom, and therefore requires no proof of its validity,” dengan demikian postulat adalah suatu pernyataan yang mengandung kebenaran yang tidak perlu pembuktian.

 

Postulat Pancasila

 

  1. Pancasila adalah dasar negara Negara Republik Indonesia sejak tahun 1945 hingga kini. Hal ini terdapat dalam setiap Pembukaan atau Mukaddimah UUD atau Konstitusi yang pernah berlaku di Negara Republik Indonesia.

 

  1. Pancasila sebagai dasar negara merupakan cita negara (staatsidee) sekaligus cita hukum (rechtsidee) bagi Negara Republik Indonesia, sehingga berfungsi regulatif dan konstitutif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Republik Indonesia. Sebagai akibat segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia harus merupakan derivasi Pancasila. Segala peraturan perundangan-undangan yang tidak sesuai, apalagi bertentangan dengan Pancasila tidak dibenarkan, dan batal demi hukum. Segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah tidak dapat tidak harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

 

  1. Mengakomodasi kepentingan dan aspirasi seluruh masyarakat, bukan untuk kepentingan seseorang maupun sebagian dari masyarakat;

 

  1. Tidak bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam ajaran agama yang diakui sah di Negara Indonesia;

 

  1. Untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin seluruh rakyat Indonesia;

 

  1. Kebijakan lokal atau daerah tidak dibenarkan bertentangan dengan kebijakan nasional. Yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tiada lain adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

 

  1. Tidak dibenarkan berkembangnya sifat eksklusif, utamanya dalam menentukan kebijakan lokal dan daerah;

 

  1. Beroreintasi pada kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila. Segala bentuk kebijakan yang mengarah pada federalisme harus dihindari.

 

  1. Keputusan demokratis tidak semata-mata didasarkan pada suara terbanyak, kelompok minoritas harus didudukkan secara terhormat dalam pengambilan keputusan. Diusahakan pengambilan keputusan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

 

  1. Pancasila menentukan bahwa kedaulatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ada di tangan rakyat. Hal ini bermakna bahwa rakyat memiliki hak sama dalam menyampaikan aspirasinya, namun ia juga wajib untuk mematuhi dan mengusahakan terwujudnya segala ketentuan yang telah menjadi kesepakatan bersama. Rakyat wajib taat pada segala peraturan perundang-undangan yang sah. Pengingkaran dan tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan harus ditindak dengan tegas. Kedaulatan di tangan rakyat bukan berarti bahwa rakyat dapat berbuat dan bertindak sesuka hati. Implementasi demokrasi dan hak asasi manusia disesuaikan dengan prinsip dan nilai budaya bangsa dengan adagium bukan negara untuk demokrasi, tetapi demokrasi untuk negara.

 

  1. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan dasar negara yang tepat, karena mampu menjadi pengikat dan wadah kemajemukan bangsa. Dapat dijadikan ligatur atau cultural bond bangsa Indonesia. Hanya Pancasila, yang merupakan common denominator dan common platform keanekaragaman dan kemajemukan bangsa, yang mampu menjadi pengikat dan wadah bangsa Indonesia yang pluralistik ditinjau dari suku bangsa, adat budaya, etnik, agama maupun kepercayaan.

 

  1. Segala aktivitas kehidupan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya maupun keamanan harus merupakan penjabaran dari konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Tujuan yang hendak dicapai dalam setiap kegiatan harus sesuai dengan Pancasila dan diselenggarakan bersendi pada paradigma Pancasila.

 

  1. Pancasila juga berkedudukan sebagai moral bangsa. Pola fikir, pola sikap dan pola tindak warganegara Republik Indonesia harus mencerminkan konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila.

 

  1. Segala sikap dan perilaku manusia harus dilandasi pada acuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

 

  1. Manusia harus mampu mengendalikan diri dalam menentukan sikap dan perilakunya, dengan mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.

 

  1. Yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bersama adalah keadilan dan kebenaran, sehingga manusia wajib bersikap jujur dengan penuh tanggung jawab.

 

  1. Manusia harus merasa malu terhadap perbuatan dan tingkah lakunya yang tidak terpuji, serta mau mengakui akan kesalahan atas kekeliruan yang diperbuatnya.
  2. Pancasila adalah suatu filosofische grondslag, seperti yang disampaikan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 di depan BPUPKI. Maka Pancasila berisi konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang merupakan kebenaran yang dapat dijadikan landasan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

  1. Pancasila berisi konsep-konsep yang merupakan kebenaran yang tidak terbantahkan. Konsep-konsep tersebut di antaranya:

 

  1. Bahwa manusia dan seluruh alam semesta adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang terikat dalam saling ketergantungan.

 

  1. Bahwa Tuhan dalam menata seluruh ciptaanNya menetapkan hukum yang ketat dalam mengatur eksistensi, pertumbuhan dan perkembangan makhluk ciptaanNya.

 

  1. Setiap makhluk mendapat bekal, berupa kodrat, harkat dan martabat, sehingga setiap makhluk membawa misi dalam menjaga eksistensi diri dan kelestarian seluruh alam semesta. Penyimpangan perilaku dari kodrat, harkat dan martabat tersebut akan berakibat yang tidak menyenangkan, dan dapat saja menjadi fatal. Oleh karena itu setiap makhluk harus didudukkan sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya secara proporsional.

 

  1. Seluruh makhluk ciptaan Tuhan memiliki fungsi dan tugas dalam menjaga kelestarian eksistensinya. Bila setiap makhluk ciptaan Tuhan berperilaku sesuai dengan kodrat, fungsi dan tugasnya, maka keselarasan, keserasian dan keseimbangan kehidupan akan dapat terpelihara. Yang terjadi adalah harmoni, satu pola kehidupan yang nyaman, damai dan penuh nikmat.

 

  1. Di antara makhluk ciptaan Tuhan, manusia didudukkan sebagai kalifatullah, yang mendapat amanah untuk mengatur alam semesta sesuai dengan yang diperintahkan oleh Tuhan, yakni menjaga kelestarian ciptaan Tuhan secara selaras, serasi dan seimbang. Manusia harus mampu mengendalikan diri secara prima agar tugas sebagai kalifatullah tersebut dapat berjalan dengan baik.

 

  1. Manusia dikarunia oleh Tuhan dengan kemampuan berfikir, merasakan, berkemauan dan berkarya. Untuk merealisasikan karunia Tuhan tersebut, manusia dikaruniai kebebasan untuk dapat mengembangkan daya fikir, perasaan dan kemauannya. Namun kebebasan tersebut harus dipertanggung jawabkan.

 

  1. Manusia juga dikaruniai perangkat nafsu, yang merupakan pendorong bagi perilaku, gerak langkah dan tindakan manusia. Perilaku manusia yang didorong oleh nafsu tersebut harus dikelola bersendi pada olah fikir, olah rasa dan dilandasi oleh budi nurani.

 

  1. Pancasila mengandung cita-cita untuk diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan bintang pemandu atau Leitstern, leidster bagi gerak langkah dalam mencapai cita-cita.

 

  1. Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia, maka Pancasila harus diwujudkan secara nyata dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, sejahtera, makmur, aman dan damai, yang merupakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

  1. Pancasila menjadi paradigma dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai paradigma, Pancasila dipergunakan untuk menentukan pola sikap dan perilaku manusia Indonesia dalam menghadapi tantangan, bagaimana memecahkan permasalahan, serta dalam menentukan program dalam mencapai cita-cita.

 

  1. Pancasila merupakan perwujudan dari “Budi Nurani Kemanusiaan,” atau “Pax Humanica,” yang merupakan dambaan dan tuntutan ummat manusia pada umumnya. Tuntutan kemanusiaan tersebut di antaranya:

 

  • Kemerdekaan, memiliki makna tidak mau dijajah, ditindas atau dieksploitasi baik oleh pihak asing, maupun oleh bangsa sendiri.
  • Bebas mengeluarkan pendapat dengan berbagai cara, dalam mengejar kehidupan yang lebih baik dan dalam mewujudkan kebahagiaan yang di-dambakannya sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial.
  • Diperlakukan setara dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, dan sosial budaya.

 

  1. Pancasila berisi konsep: religiositas, humanitas, nasionalitas, sovereinitas dan sosialitas. Konsep tersebut terjabar menjadi prinsip-prinsip yang memiliki cirinya tersendiri sehingga terumus menjadi:

 

  • Ketuhanan Yang Maha Esa;
  • Kemanusiaan yang adil dan beradab;
  • Persatuan Indonesia;
  • Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; dan
  • Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

  1. Menurut Bung Karno, “Pancasila merupakan hogere optrekking (penarikan ke atas) atau sublimasi dari Declaration of Independence United States of Amerika dan Manifesto Komunis, gagasan sosialistik dan gagasan individualistik, sehingga Pancasila mampu mengakomodasi pemikiran yang bersifat sosialistik dan individualistik”. Pancasila juga dapat mengakomodasi gagasan skularistik dan gagasan spiritualistik (Ketuhanan Yang Maha Esa).

Dengan demikian Pancasila merupakan satu-satunya ideologi yang dapat menjadikan opsi baru atau alternatif bagi ideologi dunia di masa depan yang mampu meredam pertentangan ideologi di dunia.

 

  1. Pancasila merupakan landasan bagi berdiri dan kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk federalisme tidak cocok bagi negara yang berdasar Pancasila.

 

  1. Pancasila memiliki konsep dasar kebersamaan dan persatuan, sehingga tidak dapat menerima faham-faham ektrim seperti individualisme, liberalisme, materialisme, hedonisme dan sebagainya. Yang dicita-citakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah kebahagiaan bersama, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

GERAKAN BUDAYA PANCASILA

Posted March 26, 2012 by lppkb by. Sony
Categories: Uncategorized

GERAKAN  BUDAYA  PANCASILA

Berbagai lembaga dan perorangan telah menyatakan perlunya DEKLARASI BUDAYA PANCASILA. Untuk itu perlu disusun suatu program berupa Gerakan untuk merealisasikan Deklarasi dimaksud. Berikut disampaikan pemikiran mengenai Gerakan Budaya Pancasila.

  1. A.      Visi Gerakan Budaya Pancasila

 

Gerakan Budaya Pancasila memiliki visi:

Terwujudnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

  1. B.      Misi Gerakan Budaya Pancasila.

Gerakan Budaya Pancasila memiliki misi:

  1. Mengangkat harkat dan martabat bangsa dari berbagai keterpurukan;
  2. Menyelenggarakan refleksi bersama untuk membangkitkan kesadaran moral berdasarkan  Pancasila;
  3. Membentuk tekad kuat dengan usaha dan tindakan menuju  perubahan sosial berdasar Pancasila;
  4. Membangun sistem kehidupan  berdasarkan  Pancasila;
  5. Membangun kinerja dan kapasitas bangsa secara menyeluruh berpedoman pada Pancasila sebagai etika berbangsa dan bernegara;
  6. Mengupayakan terealisasinya sistem pendidikan nasional yang berdasar Pancasila;
  7. Mengupayakan terealisasinya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, accountable  dan responsible;
  8. Mengupayakan terealisasinya otonomi daerah  dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  9. Membentuk kehidupan bangsa yang bermartabat, beradab dan demokratis, masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan, sistem pengelolaan nasional yang efektif dan efisien, serta kepemimpinan nasional yang tegas, visioner dan bertanggung jawab.
  1. Nilai-Nilai Gerakan Budaya Pancasila, ialah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
  1. D.      Bidang Sasaran Gerakan Budaya Pancasila

Sasaran Gerakan Budaya Pancasila dibagi menjadi beberapa kelompok/bidang sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Dasar 1945

Dengan berlangsungnya perubahan UUD 1945, terjadi praktek kehidupan benegara dan berpemerintahan yang menyimpang dari tujuan yang ingin diwujudkan oleh Negara-bangsa. Hal-hal perlu mendapat perhatian gerakan antara lain:

  1. Duplikasi kelembagaan.
  2. Kehidupan perpolitikan yang kurang tertata dengan semestinya.
  3. Peraturan perundang-undangan yang menyimpang dari dasar negara Pancasila.
  4. Partai politik yang menyimpang dari peran fungsi dan kedudukannya.
  5. Penyimpangan implementasi demokrasi dan HAM dari Pancasila.
  6. Sistem Pemilu yang kurang efisien, efektif dan kurang bermanfaat bagi rakyaat.
  7. Tata pemerintahan yang tidak sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
  1. Bidang Pendidikan

Gerakan Budaya Pancasila bidang Pendidikan mengusahakan terealisasinya Sistem Pendidikan Nasional berdasar Pancasila baik dalam pendidikan formal, informal dan non formal. Kegiatan yang perlu diupayakan adalah:

  1. Meninjau ulang Undang-undang No.20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, dengan segala peraturan perundang-undangan yang menjadi derivatnya, disesuaikan dengan dasar Negara Pancasila.
  2. Mengusahakan tersusunnya Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, serta mengeliminasi segala bentuk penyimpangan penyelenggaraan pendidikan.
  3. Mengusahakan penggunaan anggaran pendidikan secara efisien, efektif dan tepat sasaran.
  4. Terealisasinya wajib belajar sembilan tahun, sehingga masyarakat terbebas dari biaya pendidikan yang dirasa memberatkan beban masyarakat.
  1. Bidang Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah berdasar Undang-undang No.32 tahun 2004 dan No. 33 tahun 2004 masih belum terlaksana dengan sepertinya. Terjadi kebijaksanaan daerah menyimpang dari semangat dan jiwa undang-undang dimaksud. Hal-hal yang perlu dicermati gerakan di antaranya:

  1. Kearifan lokal yang mendorong terjadinya disintegrasi bangsa.
  2. Kebijakan daerah yang menyimpang dari jiwa dan semangat otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Perda yang menyimpang dari UUD 1945.
  4. Daerah perbatasan yang mendapat pengaruh dari negara tetangga.
  1. Subjek pelaku budaya Pancasila terdiri atas:
  1. Siswa dan mahasiswa;
  2. Keluarga;
  3. Masyarakat pada umumnya;
  4. Para elit partai politik;
  5. Para insan pers;  dan
  6. Para pejabat lembaga negara dan pemerintahan.
  1. Struktur kelembagaan budaya Pancasila, meliputi aspek:
  1. Penyimpangan dasar negara

Terdapat berbagai peraturan perundang-undangan, baik nasional maupun daerah, yang secara terselubung menerapkan dasar lain kecuali Pancasila. Peraturan perundang-undangan semacam ini harus segera diluruskan dikembalikan pada aslinya, sesuai dengan dasar negara Pancasila. Penyimpangan tersebut ada yang berorientasi pada faham liberal individualistik, ada yang bernuansa agama tertentu.

  1. UUD 1945.

Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, menyimpang dari konsep, prinsip, dan nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, sehingga rumusan pasal-pasal yang terdapat dalam Batang Tubuh tidak konkordan dan tidak merupakan derivasi dari konsep, prinsip dan nilai tersebut. Sebagai konsekuensi logis dari perubahan UUD 1945, maka Undang-undang yang menjabarkannya, akan menyimpang pula dari konsep, prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Oleh karena itu yang pertama-tama harus dilakukan adalah mengadakan restorasi  UUD 1945.

  1. Kelembagaan Negara

Dengan perubahan UUD 1945, eksistensi, tugas serta fungsi lembaga-lembaga negara mengalami kakacauan. Terdapat lembaga yang memiliki tugas dan fungsi yang tumpang tindih, sedang beberapa lembaga negara tidak jelas tupoksinya. Untuk menunjang tugas pemerintahan dibentuk komisi-komisi atau tim yang mendapatkan otoritas tertentu, yang sebenarnya merupakan tugas dari lembaga negara yang telah ada. Sampai dewasa ini  telah dibentuk puluhan komisi dan tim dengan tugas-tugas tertentu. Komisi atau tim adalah lembaga yang sifatnya sementara atau tidak permanen dalam kehidupan bernegara dan berpemerintahan. Hal ini akan menyulitkan tanggung jawab dan akuntabilitas pelaksanaan tugas.

  1. Implementasi Demokrasi dan HAM

Sebagai akibat dari perubahan UUD 1945, implementasi demokrasi dan HAM bernuansa liberalistik dan individualistik. Hal ini nampak misalnya dalam penyelenggaraan Pemilu, dan segala UU yang berkaitan dengan penyelenggaraan kehidupan politik. Segala peraturan perundang-undangan tersebut tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila. Oleh karena itu implementasi demokrasi dan HAM harus dikembalikan pada aslinya, disesuaikan dengan konsep dan prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

  1. Implemetasi Otonomi Daerah

Kurangnya pemahaman akan makna Undang-undang no. 32 tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah yang memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan seluas-luasnya dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, mendorong sementara daerah merasa tidak terikat lagi dengan pemerintah pusat. Hal ini sangat berbahaya karena akan memberikan peluang terjadinya separatisme dan terbentuknya negara-negara sempalan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah harus direvitalisasi sehingga maksud otonomi daerah dapat terselenggara dengan baik, sedang Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat terjaga dengan kokoh.

Demikianlah beberapa aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yang perlu direvitalisasi, namun yang utama adalah supaya Pancasila tetap tegak dan UUD 1945 dapat dilaksanakan dengan sepertinya. Sedang yang lain akan mengikutinya.

  1. E.       Langkah-langkah Gerakan Budaya Pancasila

Gerakan Budaya  Pancasila ditempuh melalui:

  1. Pendidikan formal melalui sekolah dan perguruan tinggi;
  2. Pendidikan masyarakat;
  3. Penyempurnaan kelembagaan Negara;
  4. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan.
  1. Struktur Kelembagaan Pelaksana Gerakan

Dalam rangka mengupayakan terlaksananya Gerakan diperlukan lembaga yang befungsi sebagai coordinator dan tempat berkonkonsultasi bagi organisasi yang terikat dalam gerakan. Lembaga tersebut sebaiknya bernama LIGA PANCASILA yang bermakna suatu kelompok (group) dengan tujuan yang sama, atau suatu asosiasi kelompok masyarakat yang terorganisasi dengan memiliki tujuan besama, yakni peningkatan implementasi Pancasila dalam segala dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Liga dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal untuk masa jabatan tertentu, yang didukung oleh suatu sekretariat, dan memiliki segmen kegiatan sesuai dengan sasaran gerakan.

  1. G.     Program Gerakan Budaya Pancasila

Gerakan Budaya Pancasila ini masih dalam garis besar, perlu berbagai pihak segera disusun program gerakan untuk merealisasikan tujuan yang hendak dicapai gerakan sesuai dengan bidang sasaran.

Catatan:  Gagasan mengenai Deklarasi Budaya Politik Pancasila ini bersumber dari pemikiran yang        disampaikan oleh Prof. Dr. Soerjanto di depan anggota LPPKB.

Soeprapto, M.Ed

Ketua Umum LPPKB