BUKU PANCASILA

P A N C A S I L A
PENGANTAR

uku berjudul Pancasila ini disusun dengan maksud untuk memahami kembali Pancasila beserta implementasinya yang bersamaan dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 36 tahun 2010, tertanggal 22 Juni 2010, tentang Pedoman Fasilitasi Penyelenggaraan Pendidikan Politik. Dalam konsiderans Peraturan Menteri tersebut ditegaskan bahwa di dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah perlu dikembangkan kehidupan demokrasi, untuk itu perlu diselenggarakan pendidikan politik bagi masyarakat.
Dijelaskan dalam Peraturan Menteri tersebut, bahwa lingkup fasilitasi penyelenggaraan pendidikan politik diantaranya adalah penyediaan “materi pendidikan politik,” yang terdiri atas materi wajib yaitu: Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, dan materi pilihan sebanyak 15 pokok bahasan.
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (LPPKB) yang selama ini kegiatannya mengkaji tentang kehidupan berbangsa dan bernegara terutama implementasi Pancasila di masyarakat, kiranya dapat berpartisipasi dalam menyiapkan bahan yang diperlukan bagi penyelenggaraan pendidikan politik seperti dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 36 tahun 2010 di atas. Sesuai dengan lingkup kerja LPPKB, bahan yang tepat untuk disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri adalah materi wajib Pancasila dan UUD 1945.
Buku ini terdiri atas sembilan bab. Bab I Pendahuluan mengupas mengenai pengertian Pancasila sesuai dengan pemikiran awal dan perkembangan selanjutnya. Bab II mengupas mengenai makna Pancasila ditinjau dari hakikatnya, sejarah perkembangan perumusannya dan konsep, prinsip serta nilai yang terdapat dalam Pancasila. Bab III membicarakan Pancasila sebagai dasar negara yang mengupas fungsi dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bab IV mengupas Pancasila sebagai ideologi nasional bangsa Indonesia, memberikan uraian mengenai makna dan hakikat ideologi, serta peran ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bab V mengupas Pancasila sebagai pandangan hidup, memberikan uraian bagaimana Pancasila berfungsi sebagai panduan dan acuan bagi manusia Indonesia dalam berfikir, bersikap dan bertingkah laku sehari-hari. Bab VI menegaskan Pancasila sebagai perekat dan pemersatu bangsa Indonesia yang mampu mengikat bangsa Indonesia yang pluralistik menjadi satu bangsa yang bersatu. Bab VII menguraikan Pancasila sebagai Filsafat yang berusaha memberikan gambaran mengenai kebenaran yang terkandung dalam Pancasila. Bab VIII menguraikan mengenai wawasan pokok tiap-tiap sila dalam Pancasila agar pemahaman terhadap Pancasila makin mendalam, lengkap dan komprehensif dan Bab IX Penutup sebagai rangkuman dari seluruh bahasan.

BAB I
PENDAHULUAN

Sesuai dengan penggagas awal, Ir Soekarno, Pancasila diusulkan sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sila-sila yang terkandung dalam Pancasila terumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta untuk mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Para founding fathers menghendaki Pancasila dijadikan dasar pengelolaan kehidupan bermasyarakat, ber-bangsa dan bernegara untuk mewujudkan masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Pancasila secara sistematik disampaikan pertama kali oleh Ir. Soekarno di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Oleh Bung Karno dinyatakan bahwa Pancasila merupakan philosofische grondslag, suatu pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, merupakan landasan atau dasar bagi negara merdeka yang akan didirikan. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa Pancasila di samping berfungsi sebagai landasan bagi kokoh-tegaknya negara-bangsa, juga berfungsi sebagai bintang pemandu atau Leitstar, sebagai ideologi nasional, sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai perekat atau pemersatu bangsa dan sebagai wawasan pokok bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita nasional.
Begitu penting kedudukan Pancasila bagi bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga gagasan dasar yang berisi konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila harus berisi kebenaran yang tidak disangsikan. Dengan demikian rakyat rela untuk menerima, meyakini dan menerapkan dalam kehidupan yang nyata; untuk selanjutnya dijaga kokoh dan kuatnya gagasan dasar tersebut agar mampu mengantisipasi perkembangan zaman.
Untuk menjaga, memelihara, memperkokoh dan mensosialisasikan Pancasila maka para penyelenggara negara dan seluruh warganegara wajib memahami, meyakini dan melaksanakan kebenaran nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

BAB II
MAKNA PANCASILA

A. Pancasila adalah Gagasan Dasar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Timbul pertanyaan, mengapa Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara, ideologi nasional dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Benarkah Pancasila mampu meng-akomodasi pluralistik bangsa serta kondisi negara-bangsa sehingga dapat dimanfaatkan sebagai landasan bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan berbangsa dan bernegara. Perlu dasar pemikiran yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat diterima oleh seluruh warga bangsa.
Dasar dan ideologi suatu negara-bangsa harus memenuhi syarat, yakni disamping kokoh dan kuat, juga harus sesuai dengan bangunan negara-bangsa di mana dasar dan ideologi tersebut akan diterapkan. Gagasan dasar yang terkandung dalam dasar dan ideologi negara-bangsa harus sesuai dengan kondisi negara-bangsa yang didukungnya.
Negara-bangsa Indonesia adalah negara yang besar, wilayahnya cukup luas, seluas daratan Eropah yang terdiri atas berpuluh negara, membentang dari barat ke timur dari Sabang sampai Merauke, dari utara ke selatan dari pulau Miangas sampai pulau Rote, meliputi jutaan kilometer persegi. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri lebih dari 17 000 pulau, berpenduduk lebih dari 230 juta orang, terdiri atas beratus suku bangsa, beraneka adat dan budaya, serta memeluk berbagai agama dan keyakinan. Oleh karena itu dasar dan ideologi negara-bangsa harus mampu mewadahi kondisi tersebut.
Pancasila dinilai memenuhi syarat sebagai dasar negara dan ideologi nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang pluralistik serta cukup luas dan besar ini. Pancasila mampu mengakomodasi keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung konsep dasar yang terdapat pada segala agama dan keyakinan yang dipeluk atau dianut oleh rakyat Indonesia. Demikian juga dengan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung konsep dasar penghormatan terhadap harkat martabat manusia. Manusia didudukkan sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya, tidak hanya setara, tetapi juga secara adil dan beradab. Sila ketiga, persatuan Indonesia, mengandung konsep kesatuan dan keutuhan bangsa dan wilayah negara dengan berbagai kemajemukan. Sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwa-kilan mengandung konsep dasar menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, yang dalam implementasinya dilaksanakan dengan bersendi pada hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sedang sila kelima me-wujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung konsep dasar bahwa kesejahteraan dinikmati dan dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat di seluruh wilayah Indonesia, tanpa mengabaikan kesejahteraan perorangan atau golongan.
Dengan demikian Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional, pandangan hidup bangsa merupakan common denominator (kesamaan pijakan) bagi kondisi kehidupan bangsa Indonesia yang pluralistik.

B. Perumusan Pancasila
Pancasila secara sistematik, pertama kali, disampaikan oleh Ir. Soekarno di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdeka-an Indonesia – BPUPKI (Dokuritsu Zumbi Tyoosakai) pada tanggal 1 Juni 1945, untuk menjawab pertanyaan Ketua Badan mengenai dasar negara yang akan didirikan. Bung Karno menyatakan bahwa pemikiran mengenai Pancasila ini telah jauh hari difikirkan. Terdapat lima prinsip yang diusulkan oleh Bung Karno sebagai dasar negara yang disebut Pancasila, yakni:

1. Kebangsaan Indonesia,
2. Internasionalisme atau perike-manusiaan,
3. Mufakat atau demokrasi,
4. Kesejahteraan sosial, dan
5. Ketuhanan yang berkebudayaan.
Bung Karno selanjutnya mengatakan, bila dari para anggota BPUPKI ada yang berkeberatan dengan jumlah yang lima dapat diperas menjadi tiga, disebutnya Trisila, yakni socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ke-Tuhan-an. Bila tiga prinsip ini dinilai masih terlalu banyak dapat diperas menjadi Ekasila yakni Gotong Royong.
Pada bulan Juni 1945 terjadi sidang Chuo Sangi-In (Dewan Penasehat Pusat) yang dihadiri oleh 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Kecil terdiri atas sembilan orang yakni Moh. Hatta, Muh. Yamin, Soebardjo, Maramis, Kiai Abd. Kahar Moezakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, K.H.Wahid Hasyim, Haji Agoes Salim, diketuai Ir. Soekarno untuk merumuskan Pembukaan UUD. Dalam Pembukaan tersebut dirumuskan usulan dasar negara yang merupakan perkembangan dari pidato yang disampaikan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Rumusan yang disusun oleh Panitia Sembilan ini biasa disebut Piagam Jakarta, atau Jakarta Charter. Adapun rumusan dasar negara adalah sebagai berikut:
Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalan-kan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan ini telah disepakati dalam Sidang BPUPKI kedua yang berlangsung antara tanggal 10 – 17 Juli 1945. Namun dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 rumusan tersebut mengalami perubahan atas dasar pertimbangan, bahwa penduduk Indonesia bagian timur sebagian besar beragama Kristen-Katholiek, sehingga rumusan Jakarta Charter dinilai diskriminatif. Rumusan dasar negara yang disepakati akhirnya berubah menjadi sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-
perwakilan, dan dengan mewujudkan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Namun pada waktu UUD tersebut disebar luaskan melalui Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 tanggal 15 Februasi 1946, terjadi perubahan rumusan sila keempat, yang semula ”permusyawaratan-perwakilan” berubah menjadi ”permusyawaratan/ perwakilan.”
Rumusan dasar negara ini yang kemudian ditetapkan oleh berbagai Ketetapan MPRS dan MPR RI sebagai PANCASILA. Salah satu di antaranya ditetapkan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/ 1966.
Rumusan Pancasila dasar negara juga tercantum dalam Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Negara Republik Indonesia dengan rumusan sebagai berikut:
1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2. Peri-kemanusiaan,
3. Kebangsaan,
4. Kerakyatan, dan
5. Keadilan sosial.
Dari rumusan tersebut di atas, nampak bahwa rumusan Pancasila mengalami perkembangan dan sejak terjadinya dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, rumusan resmi Pancasila adalah seperti yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945.

C. Hakikat Pancasila
Dalam rangka memahami dan mendalami hakikat Pancasila, kita perlu faham mengenai konsep dan prinsip yang terkandung dalam Pancasila. Setiap faham filsafat pasti berisi konsep, prinsip dan nilai untuk dijadikan landasan dalam memberikan makna terhadap fenomena alam dan fenomena kehidupan serta sebagai acuan apabila faham filsafat tersebut ingin diterapkan dalam kehidupan yang nyata. Demikian pula halnya dengan Pancasila.
Konsep adalah gagasan umum, hasil konstruksi nalar dari olah fikir manusia dan generalisasi secara teoritik, merupakan faham universal. Konsep berfungsi sebagai dalil, suatu gagasan yang memberikan makna terhadap fenomena atau hal ihwal sehingga ditemukan hakikatnya. Konsep dipergunakan untuk memberikan arti terhadap segala fenomena, sekaligus sebagai acuan kritik untuk memberikan makna terhadap fenomena yang dihadapi.
Bagi rakyat yang menempati kepulauan Nusantara, sejak zaman purba, sebelum masuknya agama-agama, telah memiliki suatu belief system tentang makna kehidupan manusia dan hubungannya dengan alam semesta. Bila Aristoteles memandang kehidupan manusia adalah dalam kaitannya dengan masyarakat, bahwa manusia adalah makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon), rakyat yang menempati bumi Nusantara ini, khususnya orang Jawa, memandang bahwa kehidupan manusia adalah menyatu dengan alam semesta. Orang Jawa menyebutnya sebagai ”manunggaling kawulo Gusti.” Hubungan antara manusia sebagai individu dengan alam semesta tertata dan terikat dalam keselarasan dan keserasian atau harmoni. Masing-masing unsur memiliki peran dan fungsinya, dan masing-masing makhluk saling melayani sehingga terjadi keteraturan dan ketertiban. Yang ingin diwujudkan adalah ketenteraman dan kedamaian dunia. Orang Jawa menyebutnya sebagai ”memayu hayuning bawono.” Berikut disampaikan beberapa konsep yang terdapat dalam Pancasila.
1. Konsep yang terdapat dalam Pancasila
a. Konsep Religiositas
Konsep religiositas mengakui eksistensi agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Leluhur bangsa Indonesia sejak dahulu kala telah mengakui
kekuatan di luar manusia atau kekuatan ghaib yang berpengaruh terhadap
kehidupan manusia, inilah sesungguhnya konsep religiositas, suatu konsep dasar
yang terdapat dalam setiap agama maupun keyakinan dan kepercayaan yang dianut
oleh manusia. Pancasila mengandung konsep religiositas, maka manusia Indonesia
beriman dan bertakwa terhadap kekuatan gaib tersebut. Pancasila menyebutnya
sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan hakikat dari segala agama dan
kepercayaan yang berkembang di Indonesia.
b. Konsep Humanitas
Sejak berkembang renaissance faham humanisme suatu faham yang menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia sebagai pribadi yang memiliki cirinya masing-masing
secara tersendiri, atau yang biasa disebut sebagai jatidiri. Sebagai turunan
dari anggapan tersebut manusia memiliki kebebasan dalam berfikir, mengemukakan
pendapat, serta menentukan pilihan hidupnya. Gerakan humanisme ini yang
melahirkan gagasan individualisme, liberalisme dan pluralisme. Gerakan
humanisme ini berkembang dengan pesat-nya setelah berakhirnya perang dunia
kedua. Hal ini sangat mungkin dipicu oleh rasa penyesalan ummat manusia yang
bersikap dan bertindak dehumanis sepanjang zaman. Manusia diperlakukan sekedar
sebagai alat pemuas kepentingan-kepentingan tertentu. Bangsa-bangsa di dunia
kemudian bersepakat melindungi kebebasan individu tersebut dalam suatu konvensi
yang disebut ”Universal Declaration of Human Rights,” yang dise-tujui oleh
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 10 Desember 1948.
Faham humanisme yang berisi konsep humanitas menyentuh pula pemikiran para
founding fathers, sehingga oleh Bung Karno diangkat menjadi salah satu prinsip
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan diusulkan untuk dijadikan salah
satu prinsip yang menjadi dasar negara. Bung Karno menamakannya sebagai prinsip
perikemanusiaan atau inter-nasionalisme. Konsep humanitas memiliki makna
sebagai berikut:
1) Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa didudukkan sesuai
dengan kodrat, harkat dan martabatnya. Manusia dikaruniai oleh Tuhan
berbagai disposisi atau kemampuan dasar untuk mendukung misi yang
diembannya. Disposisi tersebut adalah kemampuan untuk berfikir,
merasakan, berkemauan dan berkarya. Sebagai akibat dari kemampuan
tersebut manusia mengalami perkembangan dan kemajuan dalam hidupnya.
Dengan kemampuannya tersebut manusia meng-hasilkan karya-karya, baik
yang bersifat nampak (tangible) maupun yang tidak nampak (intangible),
terakumulasi dalam kehidupannya, dipelihara dan dijadikan panduan dan
acuan bagi hidupnya sehingga berkembanglah budaya dan peradaban.
Disebabkan oleh pengalaman sejarah hidup berbeda yang dialami oleh
masing-masing komunitas atau kelompok masyarakat, maka setiap kelompok
masyarakat memiliki budaya dan peradabannya sendiri-sendiri. Demikian
pula halnya dengan bangsa Indonesia. Sebagai manusia atau suatu
komunitas wajib menghormati kodrat, harkat dan martabat manusia yang
manifestasinya berupa keaneka ragaman adat budaya lokal dan daerah.

2) Dengan kemampuan dasar ”kemauan,” serta didukung oleh kemampuan fikir,
perasaan, karya, manusia selalu berusaha untuk hidup dalam kondisi
yang terbaik bagi dirinya. Manusia selalu didorong oleh ambisinya
tersebut untuk mencari segala sesuatu yang diharapkan akan memberikan
kepuasan hidupnya, baik mengenai hal-hal yang bersifat jasmani maupun
rokhani. Tuhan mengaruniai kebebasan pada manusia dalam menentukan
pilihan hidupnya guna mencari yang terbaik bagi kehidupannya. Namun
kebebasan yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia tersebut tidak
cuma-cuma. Kebebasan tersebut harus dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan
maupun kepada masyarakat sekitarnya. Kebebasan ini biasa disebut
sebagai hak asasi manusia, merupakan mahkota bagi kehidupan manusia
yang tidak boleh diganggu gugat. Namun dalam mengguna-kan kebebasan
tersebut manusia dibatasi, sekurang-kurangnya oleh kebebasan yang juga
menjadi hak manusia lain. Terdapat cara yang dengan mudah dapat
dipergunakan sebagai acuan dalam menuntut atau melampiaskan kebebasan
manusia, yakni tidak dibenarkan mengganggu dan melanggar kebebasan
pihak lain pada waktu seseorang menuntut dan menggunakan kebebasannya.

3) Meskipun manusia diciptakan dalam kesetaraan, namun realitas
menunjukkan adanya fenomena yang beragam ditinjau dari berbagai segi.
Keaneka ragaman manusia dapat dilihat dari sisi jasmani maupun
mentalnya, sehingga setiap manusia memiliki kepribadian yang beragam
yang membentuk jatidiri manusia sebagai individu. Namun dalam keaneka
ragaman tersebut terdapat hal-hal yang disepakati bersama, menjadi
pengikat kehidupan bersama. Terdapat nilai-nilai dan prinsip-prinsip
sama yang merupakan watak bersama (common denominator) antar berbagai
komunitas. Sifat pluralistik manusia dihormati dan didudukkan dengan
sepatutnya,tetapi harus dibingkai dalam suatu kebersamaan dan kesatuan.

4) Tata hubungan manusia dengan manusia yang lain dikemas dalam tata
hubungan yang dilandasi oleh rasa kasih sayang. Bahwa eksistensi
manusia di dunia adalah untuk dapat memberikan pelayanan pada pihak
lain; orang Jawa menyebutnya sebagai ”leladi sesamining dumadi.”
Manusia sebagai makhluk yang mengemban amanah untuk menjaga kelestarian
ciptaan Tuhan memegang suatu prinsip ”memayu hayuning bawono.” Hal ini
akan terselenggara dengan baik apabila dilandasi oleh sikap ”sepi ing
pamrih, rame ing gawe; jer basuki mowo beyo;” bahwa dalam mengusahakan
tewujudnya kehidupan yang sejahtera, terciptanya keharmonisan segala
ciptaan Tuhan, manusia harus menyisihkan kepentingan pribadi dan
golongan, serta rela berkorban demi terwujudnya kondisi yang diharapkan
tersebut. Hal ini dapat terselenggara bila didasari oleh rasa cinta dan
kasih sayang dengan sesama.

5) Dalam berhubungan dengan sesama diharapkan manusia mampu untuk
mengendalikan diri, tidak merasa dirinya yang paling benar, paling
hebat, paling kuasa, sehingga mengabaikan dan memandang remeh atau
tidak penting pihak lain. Orang Jawa mengatakannya ”ojo dumeh, ojo
adigang, adigung, adiguno.” Secara bebas dapat diartikan jangan
meremehkan pihak lain, jangan bersikap angkuh, merasa dirinya paling
hebat dalam segala hal. Sifat inklusif harus dikembangkan sedang sifat
eksklusif harus dihindari. Sementara itu kejujuran harus dikembangkan
sebagai landasan untuk mengikat hubungan yang serasi, selaras dan
seimbang. Demikian pula sifat mementingkan diri sendiri yang mengantar
timbulnya keserakahan harus dihindari.

c. Konsep Nasionalitas
Abad ke XX merupakan abad kebangkitan wawasan kebangsaan bagi negara-negara di wilayah Asia, tidak terkecuali bagi masyarakat yang mendiami wilayah yang pada waktu itu dikuasai oleh pemerintah Belanda, yang bernama Nederlands Oost Indie atau Hindia Belanda. Sejak tahun 1908 para pemuda telah gandrung dengan wawasan kebangsaan dengan mendirikan organisasi Boedhi Oetomo. Organisasi ini yang kemudian memicu lahirnya berbagai organisasi kepemudaan yang berasal dari berbagai daerah Hindia Belanda. Organisasi kepemudaan ini yang mendek-larasikan ”Sumpah Pemuda” yang sangat monumental, yang mengkristal menjadi dorong-an kuat bagi lahirnya negara-bangsa Indonesia.
Pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mengusulkan bahwa salah satu prinsip dasar negara adalah ”kebangsaan.” suatu prinsip bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan untuk kepentingan seseorang, golongan, tetapi suatu dasar ”semua buat semua.” Faham kebangsaan ini bukan merupakan faham kebangsaan yang sempit atau chauvinisme. Konsep nasionalitas memiliki makna sebagai berikut:
1) Rakyat Indonesia dalam hidup ber-masyarakat dan bernegara terikat dalam suatu
komunitas yang namanya bangsa Indonesia. Mereka mengaku dengan ikhlas dan
bangga sebagai warga bangsa Indonesia, cinta serta rela berkorban demi negara-
bangsanya.

2) Tanpa mengurangi hak pribadi, loyalitas warganegara terhadap negara-bangsa-nya,
mengenai hal ihwal yang menyangkut kepentingan umum (kepentingan orang banyak),
diletakkan di atas kepentingan pribadi dan golongan.

3) Dalam mengembangkan wawasan kebang-saan sebagai pengejawantahan konsep
nasionalitas, ciri golongan, baik ditinjau dari segi etnis, suku, agama, maupun
adat budaya, dihormati dan ditempatkan secara proporsional dalam menegakkan
persatuan dan kesatuan bangsa. Wawasan kebang-saan tidak mengeliminasi
keanekaragaman. Kearif-an lokal (local wisdom) dipelihara, dijaga dan
dikembangkan sejalan dengan wawasan kebangsaan. Kebudayaan lama dan asli yang
terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah di seluruh Indonesia diakui
sebagai kebudayaan bangsa.

4) Atribut negara-bangsa seperti bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia
Raya, lambang negara Garuda Pancasila, bahasa nasional Indonesia dan kepala
negara dihormati dan didudukkan secara proporsional sesuai dengan kesepakatan
bangsa. Memperlakukan atribut negara secara tidak senonoh atau kurang beradab
adalah tindakan yang tidak sesuai dengan esensi wawasan kebangsaan. Menghormati
atribut negara-bangsa tidak bermakna menyembah atau mensakralkan atribut
tersebut. Perlu disadari bahwa warganegara yang mencederai atribut bangsa,
atau melecehkan atribut bangsa sama saja dengan melecehkan diri sendiri sebagai
warganegara-bangsa.

5) Dengan berprinsip pada wawasan kebangsaan, bangsa Indonesia tidak menolak
masuknya kebudayaan asing dengan syarat bahwa kebudayaan dimaksud harus menuju
ke arah kemajuan adab, budaya, kesatuan dan persatuan banga. Bahwa kebudayaan
asing dimaksud harus dapat memperkembangkan dan memperkaya kebudayaan bangsa,
serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

6) Dalam mengembangkan wawasan kebangsaan perlu dihindari berkembangnya faham
kebangsaan sempit, yang memandang bangsanya sendiri yang paling hebat di dunia
dan memandang rendah bangsa yang lain. Demikian pula dengan wawasan kebangsaan
tidak berkembang menjadi faham ekspansionis yang berusaha untuk menguasai
negara-bangsa lain. Dengan berpegang pada wawasan kebangsaan, bangsa Indonesia
memiliki misi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamai-an abadi dan keadilan sosial.

d. Konsep Sovereinitas

Bila sila pertama, kedua dan ketiga Pancasila memberikan makna tata hubungan manusia dengan sekitarnya, maka sila keempat ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,” memberikan gambaran bagaimana selayaknya tata cara hubungan antara unsur-unsur yang terlibat dalam kehidupan bersama, untuk selanjutnya bagaimana menentukan kebijakan dan langkah dalam menghadapi permasalahan hidup.
Berbagai pihak memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud ”kerakyatan” adalah demokrasi sebagaimana disebut oleh berbagai negara. Kerakyatan adalah demokrasi yang diterapkan di Indonesia yang memiliki ciri sesuai dengan latar belakang budaya bangsa Indonesia sendiri. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang berprinsip bahwa rakyat adalah sumber kekuasaan dalam menyeleng-garakan pemerintahan. Dengan demikian demokrasi adalah ”government of the people, by the people and for the people”, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Walaupun demikian pelaksanaan demokrasi bagi tiap-tiap negara berbeda-beda berdasarkan budaya dan sejarah bangsanya.
Perbedaan landasan penyelenggaraan demo-krasi antara negara-negara Barat dengan demokrasi di Indonesia adalah negara-negara Barat berorientasi pada kepentingan pribadi dan melindungi hak asasi individu. Sedangkan demokrasi di Indonesia berdasarkan Kerak-yatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan..
Dengan demikian demokrasi yang bersendi pada liberalisme yang individualistik tidak sesuai dengan demokrasi yang selayaknya diterapkan di Indonesia. Demokrasi di Indonesia tidak semata-mata untuk membela dan mengakomodasi hak pribadi, tetapi juga harus mengakomodasi kepentingan bangsa.
Bersendi pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, demokrasi yang diterapkan di Indonesia hendaknya memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Segala keputusan demokratis tidak dibenarkan mengarah pada timbulnya perpecahan
bangsa.
2) Dalam mengambil keputusan hendaknya selalu berpegang pada adagium bahwa
kepentingan negara-bangsa ditempatkan di atas kepentingan pribadi dan golongan.
3) Hak-hak pribadi tetap dihormati, tetapi selalu ditempatkan dalam kerangka
terwujudnya keselarasan hidup serta kelestarian ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
4) Keputusan demokratis bukan semata-mata mengakomodasi aspirasi dan keinginan
rakyat atau warganegara tetapi harus mengarah pada terwujudnya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
5) Praktek demokrasi yang diselenggarakan di negara lain dapat diterapkan di
Indonesia dengan tetap berpegang pada ketentuan di atas. Pengambilan keputusan
dengan cara voting dibenarkan sejauh musyawarah untuk mencapai mufakat tidak
dapat mencapai hasil.
6) Kaum minoritas dilindungi dan mendapat perlakuan dengan sepantasnya.
7) Demokrasi yang diterapkan di Indonesia tidak semata-mata mengacu pada proses,
tetapi harus bermuara kepada tujuan yang telah menjadi kesepakatan bangsa.

e. Konsep Sosialitas
Konsep sosialitas memberikan gambaran mengenai tujuan yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bersama, hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada hakikatnya tujuan tersebut adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Bung Karno dalam berbagai kesempatan selalu mengutip pendapat Juarez yang mengatakan bahwa demokrasi parlementer atau demokrasi politik tidak cukup, demokrasi politik harus disertai dengan demokrasi ekonomi. Dikata-kannya:
Dalam demokrasi parlementer tiap-tiap orang dapat menjadi raja. Tiap orang dapat memilih, tiap orang dapat dipilih. Tiap-tiap orang dapat memupuk kekua-saan untuk menjatuhkan menterinya, tetapi di bidang ekonomi tidak demikian. Si kaum buruh yang pada hari ini di dalam parlemen adalah raja, besok pagi di dalam pabriknya ia dapat dilempar ke luar dari pabriknya, menjadi orang yang tiada kerja.
Selanjutnya dikemukakan bahwa yang ingin diwujudkan dengan berdirinya negara Republik Indonesia ini adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini bermakna suatu masyarakat yang adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan, tidak ada exploitation de l’ homme par l’ homme. Sehingga akan terwujud masyarakat yang berbahagia, cukup sandang, cukup pangan, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.
Persoalan yang timbul adalah bagaimana untuk dapat merealisasikan gagasan ini. Pemerintahan Inggris bercita-cita untuk me-wujudkan affluent society, masyarakat yang serba kecukupan, masyarakat yang serba melimpah ruah dengan keperluan hidup, diterapkan pendekatan security welfare state. Setiap warga negara harus ikut dalam program asuransi, yang akan menjamin kelangsungan hidupnya. Amerika Serikat menerapkan yang disebut positive welfare state, yakni dengan cara memotong pengasilan orang kaya untuk dapat disebarkan kepada yang kurang beruntung. Bagaimana bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Dengan telah tersedianya landasan penyelenggaraan demokrasi ekonomi ini, tinggal bagaimana rakyat Indonesia men-jabarkan lebih lanjut dalam menyusun peraturan perundang-undangan.

2. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam Pancasila
Prinsip adalah gagasan dasar, berupa aksioma atau proposisi awal yang memiliki makna khusus, mengandung kebenaran berupa doktrin dan asumsi yang dijadikan landasan dalam menen-tukan sikap dan tingkah laku manusia. Prinsip dijadikan acuan dan dijadikan dasar menentukan pola pikir, pola sikap dan pola tindak sehingga mewarnai tingkah laku pendukung prinsip dimaksud. Sila-sila Pancasila itulah prinsip-prinsip Pancasila. Berikut disampaikan prinsip-prinsip Pancasila dan penjabarannya.
a. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa

Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa berisi ketentuan sebagai berikut:
1) Pengakuan adanya berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;

2) Setiap individu bebas memeluk agama dan kepercayaannya;

3) Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaan kepada pihak lain;

4) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing;

5) Saling menghargai terhadap keyakinan agama dan kepercayaan yang dianut oleh
pihak lain;

6) Saling menghormati antar pemeluk agama dan kepercayaan;

7) Bebas beribadat sesuai dengan keyakinan agama yang dipeluknya, tanpa mengganggu
kebebasan ber-ibadat bagi pemeluk keyakinan lain;

8) Dalam melaksanakan peribadatan tidak mengganggu ketenangan dan ketertiban umum.

b. Prinsip Kemanusiaan yang adil dan beradab
Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab berisi ketentuan sebagai berikut:
1). Menghormati kodrat, harkat dan martabat manusia;

2). Menghormati kebebasan manusia dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat;
3). Menghormati sifat pluralistik bangsa dengan cara:

 Mengembangkan sikap inklusif, yang bermakna bahwa dalam berhubungan dengan
pihak lain tidak bersikap menangnya sendiri, bahwa pendapat-nya tidak mesti
yang paling benar dan tidak meremehkan pendapat pihak lain.
 Tidak bersikap sektarian dan eksklu-sif serta terlalu membangga-kan kelompoknya
sendiri tanpa mem-perhitungkan kelompok lain.
 Menghindari sikap formalistik yang hanya menunjukkan perilaku semu, dengan
mengembangkan sikap pluralis-tik, saling mempercayai dan saling menghormati.
 Mengusahakan sikap dan tindakan konvergen (menyatu) bukan divergen (memisah).
 Bersikap toleran, memahami pihak lain serta menghormati dan menghargai
pandangan pihak lain.
 Bersikap akomodatif yang dilandasi oleh sikap kedewasaan serta pengendalian
diri.
 Menghindari sikap ekstremitas dengan mengembangkan sikap moderat, berimbang dan
proporsional.
c. Prinsip Persatuan Indonesia
Prinsip Persatuan Indonesia berisi ketentuan sebagai berikut :
1) Bangga atas kondisi yang terdapat pada negara-bangsa serta prestasi yang
dihasilkan oleh warganegara.
2) Cinta pada negara-bangsanya serta rela berkorban demi bangsa dan tanah airnya.
3) Berkembangnya patriotisme dalam menjaga keutuhan, kebesaran dan kesejahteraan
negara-bangsa serta dalam bela negara.
d. Prinsip Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan berisi ketentuan sebagai berikut:
1) Dalam mengambil keputusan untuk kepen-tingan bersama diutamakan musya-warah
untuk mencapai mufakat. Win win solution dijadikan acuan dalam mencari
kesepakatan bersama. Dengan cara ini tidak ada yang merasa dimenangkan atau
dikalahkan.
2) Dalam mencari kesepakatan bersama tidak semata-mata berdasarkan pada suara
terbanyak, tetapi harus berlandasan pada tujuan yang ingin diwujudkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setiap keputusan untuk ke-
pentingan bersama harus mengarah pada terwujudnya rasa keadilan.
3) Tidak menerapkan prinsip tirani minoritas dan dominasi mayoritas. Segala
pemangku kepentingan (stakeholders) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dilibatkan dalam penetapan kebijakan bersama sesuai dengan peran, kedudukan dan
fungsi masing-masing.
4) Mengacu pada prinsip politiek-economische demokratie bahwa demokrasi harus
mengantar rakyat Indonesia menuju terwujudnya keadilan dan kemakmuran, sociale
rechtvaardigheid (Bung Karno),
e. Prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berisi ketentuan sebagai berikut:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasasi hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara;
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4). Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara;
5). Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
6). Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak.
7). Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan serta wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
8). Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja.

3. Nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila

Nilai adalah penentuan penghargaan atau pertimbangan tentang “baik atau tidak baik” terhadap sesuatu, kemudian dijadikan dasar, alasan atau motivasi untuk “melakukan atau tidak melakukan” sesuatu. Sedangkan nilai (kema-nusiaan) adalah kualitas ketentuan yang bermakna bagi kehidupan manusia perorangan, maupun kehidupan masyarakat, bangsa dan antar bangsa.

Nilai adalah hal ihwal yang bermakna bagi kehidupan manusia yang didambakannya serta berusaha mewujudkannya atau meng-hindarinya untuk menciptakan kepuasan dirinya. Nilai adalah juga suatu tuntunan yang dijadikan arah untuk menentukan sikap dan perilaku dalam kehidupan bersama manusia atau dalam kehidupan masyarakat.

Tata nilai akan diterima menjadi nilai nasional suatu bangsa, apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Diterima dan diakui sebagai milik oleh seluruh bangsa itu.
b. Berupa kristalisasi dari seluruh nilai yang ada, baik nilai individu, nilai
sosial budaya maupun nilai daerah dan nilai-nilai lainnya.
a. Mempunyai kekuatan membimbing bangsa secara nasional ke arah perkembangan
kemajuan dan modernisasi, yang mampu mendorong semangat bekerja keras dan
berkerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
c. Menyentuh unsur-unsur yang paling dalam dari bangsa itu, yakni unsur-unsur yang
dicita-citakan, meliputi kehidupan dunia dan akhirat, keserasian kepen-tingan
individu dan kepentingan sosial serta kepentingan jasmani dan rohani.
d. Berpangkal pada keyakinan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang hidupnya di
dunia ini ditakdirkan sebagai suatu bangsa. Oleh karena itu, disamping
mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan individunya, juga mempunyai kewajiban
untuk mengabdi kepada bangsa dan tanah airnya.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai dasar yang bersifat abstrak dan universal, Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila tersebut harus dijabarkan secara jelas, agar dapat dengan mudah dipahami, dihayati dan diamalkan oleh setiap warganegara Indonesia.

Nilai-nilai Pancasila adalah ukuran “benar atau salah”, “baik atau tidak baik” bagi warganegara Indonesia secara nasional. Dengan lain perkataan, nilai-nilai Pancasila merupakan tolok ukur, penyaring dan penimbang bagi semua nilai yang ada pada bangsa Indonesia dan juga terhadap nilai bangsa asing. Secara nasional, nilai-nilai Pancasila mempunyai kedudukan dan kebenaran vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai yang merupakan ukuran tingkah laku yang bersifat nasional itu mutlak diperlukan karena langsung menyangkut pada kemantapan perkembangan bangsa Indonesia secara nasional maupun internasional.

Sejalan dengan hal-hal yang telah dikemukakan tersebut maka Pancasila sebagai pandangan hidup adalah kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri yang diyakini kebenarannya dan yang menimbulkan tekad pada bangsa Indonesia untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mewujudkan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari dapat ditempuh antara lain berusaha membina kehidupan sesuai dengan petunjuk Pancasila yaitu dengan mengembangkan keselaras-an, keserasian dan keseimbangan dalam hidup manusia sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam llingkungannya, hubungan manusia dengan masyarakat, bangsa dan negara maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohaniah.

Sebagai kristalisasi nilai-nilai milik bangsa Indonesia sendiri, maka Pancasila adalah jiwa dan kepribadian seluruh rakyat Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara NKRI. Bersamaan dengan itu Pancasila sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia.

Sebagai kristalisasi nilai-nilai, Pancasila bukan lahir secara mendadak pada tahun 1945, melainkan setelah melalui suatu proses yang panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan bangsa kita sendiri, diilhami oleh gagasan besar dunia dengan melihat pengalaman bangsa-bangsa lain, namun tetap berakar pada gagasan besar dan kepribadian bangsa kita sendiri.

Nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila adalah nilai yang menjadi tujuan bangsa Indonesia yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah :
1. Keimanan
Keimanan adalah suatu sikap yang menggambarkan keyakinan akan adanya keku-atan transendental yang disebut Tuhan Yang Maha Esa. Dengan keimanan manusia yakin bahwa Tuhan menciptakan dan mengatur alam semesta. Apapun yang terjadi di dunia adalah atas kehendak-Nya, dan manusia wajib untuk menerima dengan keikhlasan.
2. Kesetaraan
Kesetaraan adalah suatu sikap yang mampu menempatkan kedudukan manusia tanpa mem-bedakan jender, suku, ras, golongan, aga-ma, adat dan budaya dan lain-lain. Setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum dan memperoleh kesempatan yang sama dalam segenap bidang kehidupan sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
3. Persatuan dan Kesatuan
Persatuan dan kesatuan adalah keadaan yang menggambarkan masyarakat majemuk bangsa Indonesia yang terdiri atas beranekaragamnya komponen namun mampu membentuk suatu kesatuan yang utuh. Setiap komponen dihormati dan menjadi bagian integral dalam satu sistem kesatuan negara-bangsa Indonesia.
4. Mufakat
Mufakat adalah suatu sikap terbuka untuk menghasilkan kesepakatan bersama secara musyawarah. Keputusan sebagai hasil mufakat secara musyawarah harus dipegang teguh dan wajib dipatuhi dalam kehidupan bersama.
5. Kesejahteraan
Kesejahteraan adalah kondisi yang meng-gambarkan terpenuhinya tuntutan kebutuhan manusia, baik kebutuhan lahiriah maupun batiniah sehingga terwujud rasa puas diri, tenteram, damai dan bahagia. Kondisi ini hanya akan dapat dicapai dengan kerja keras, jujur dan bertanggungjawab.

Dengan memahami konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila, yang tentu masih akan berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia, per-masalahan berikutnya adalah bagaimana konsep, prinsip dan nilai tersebut dapat diimplementasikan secara nyata pada berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

BAB III

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

Pada waktu ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, membuka sidang pada tanggal 29 Mei 1945, mengemukakan bahwa yang perlu difikirkan oleh para anggota sidang adalah mengenai dasar Indonesia merdeka. Bung Karno memberikan arti dasar negara yang dimaksud oleh Ketua adalah dasarnya Indonesia Merdeka, yang dalam bahasa Belanda disebut philosofische grondslag, yaitu dasar filsafat, yang oleh Bung Karno pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945 disebut Pancasila. Hal ini disampaikan oleh Bung Karno dalam mengawali pidatonya sebagai berikut:
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai mengeluarkan pen-dapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
. . . Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische grondslag” dari pada Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal dan abadi.
Saudara-saudara “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya [sic. Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan, yang berke-adaban]. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indera. Apa lagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir: “Pandawa lima.”) Pendawa-pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip” kebangsaan, interna-sionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ke-Tuhanan” lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Panca Sila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
Dari pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut jelas dapat kita simpulkan bahwa Pancasila yang diusulkan oleh Bung Karno tersebut dimaksudkan sebagai dasarnya Indonesia Merdeka.
Agar pemahaman kita mengenai Pancasila sebagai dasar negara lebih mantap perlu difahami : (a) makna Pancasila sebagai dasar negara, (b) Pancasila tepat sebagai dasar negara NKRI, (c) peran dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara (d) implementasi Pancasila sebagai dasar negara.
A. Makna Pancasila sebagai Dasar Negara
Pancasila sebagai dasar negara sekaligus sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum, baru menjadi kesepakatan bangsa sejak tahun 1966 de-ngan ditetapkannya TAP MPRS No.XX/MPRS/1966, di antaranya menetapkan:
Sumber dari tertib hukum sesuatu negara atau yang biasa dinyatakan sebagai “sumber dari segala sumber hukum” adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari Rakyat negara yang bersangkutan.
Sumber dari tertib hukum Republik Indonesia adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia, ialah cita-cita mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan mondial, cita-cita politik mengenai sifat bentuk dan tujuan Negara, cita-cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan sebagai pengejawantahan daripada Budi Nurani Manusia.
Pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia itu pada 18 Agustus 1945 telah dimurnikan dan dipadatkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan atas nama Rakyat Indonesia, menjadi Dasar Negara Republik Indonesia, yakni Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan, dan Keadilan Sosial. [sic. Rumusan sila ke lima berbeda dengan rumusan yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945].
Dari Ketetapan MPRS tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pancasila sebagai dasar negara adalah fondasi bagi pembentukan negara-bangsa.
2. Pancasila sebagai dasar negara merupakan cita negara (staatsidee) dan cita hukum (rechtsidee) yang berkembang menjadi staatsfundamentalnorm bersifat konstitutif dan regulatif, sehingga harus menjiwai dan menjadi acuan statik bagi segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pancasila sebagai dasar negara adalah asas dari hukum positif yang berlaku di NKRI, dengan kata lain merupakan sumber dari segala sumber hukum, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 10 tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan demi-kian segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di NKRI harus berdasar pada Pancasila yang bersifat final dan mengikat.
4. Pancasila sebagai dasar negara menjiwai UUD 1945 dalam mengatur penyelenggara-an negara serta menata kehidupan warga-negara dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

B. Pancasila tepat sebagai Dasar Negara NKRI

Setiap negara-bangsa selalu menetapkan dasar negara bagi negara-bangsanya. Berikut dikutip pidato Bung Karno di depan Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai, di antaranya sebagai berikut:

Kita melihat dalam dunia ini bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu “Weltanschauung”. Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Weltanschauung,” filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar Negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan Negara Sovyet di atas satu “Weltanschauung”, “ yaitu Marxistische. Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan Negara Dai Nippon di atas Tennoo Koodoo Seishin.” Di atas “Tennoo Koodoo Sheisin” inilah Negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu “Weltanschauung,” bahkan di atas dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang dimin-ta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?

Bangsa Indonesia sejak tanggal 18 Agustus 1945 telah menetapkan Pancasila sebagai “Weltan-schauung,” atau dasar negara bagi negara-bangsanya. Hal ini terbukti bahwa sejak saat itu sila-sila yang terkandung dalam Pancasila selalu tercantum dalam Pembukaan atau Mukadimah UUD yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

Sementara itu Pancasila juga tepat sebagai dasar negara NKRI dengan alasan sebagai berikut:

1. Pancasila digali dari adat dan budaya bangsa Indonesia, menjadi common denominator atau de grootste gemene deeler dan de kleinste gemene veelvoud dari adat dan budaya bangsa Indonesia. Prinsip dan nilai Pancasila telah diterapkan dalam kehidupan keseharian tanpa disadarinya.

2. Pancasila memiliki potensi menampung kondisi dan sifat pluralistik bangsa. Bagi bangsa Indonesia yang demikian majemuk hanya Pancasila yang mampu mengikat unsur-unsur bangsa menjadi Negara Kesatuan.

3. Pancasila menjamin kebebasan warga-negara untuk beribadah menurut agama dan keya-kinannya.

4. potensi menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

5. Pancasila memberikan landasan bagi bangsa Indonesia dalam mengantisipasi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

6. Pancasila memberikan jaminan terseleng-garanya demokrasi dan hak asasi manusia sesuai dengan adat dan budaya bangsa;
7. Pancasila menjamin terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera.

C. Peran dan Fungsi Pancasila sebagai dasar negara.
Telah dikemukakan di depan bahwa Pancasila sebagai cita negara dan cita hukum memiliki fungsi konstitutif dan regulatif bagi kehidupan bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini bermakna bahwa segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia harus merupakan derivat atau turunan dari Pancasila. Sementara itu perilaku warganegara dan lembaga negara harus bersendi pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Segala peraturan perundang-undangan yang menyi-mpang dari Pancasila harus diluruskan.

Dengan demikian, anggota legislatif sebagai pembentuk undang-undang harus berpegang teguh pada sumpah jabatannya, yakni berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945.
Berikut disampaikan beberapa contoh peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari peran dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara:
1. Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998, Pasal 1 menetapkan:

”Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indoinesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan ber-negara.”

2. UU No. 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, menentukan di antaranya:

a) Pegawai negeri merupakan unsur aparatur negara yang bertugas secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan negara, serta dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945.

b) Termasuk pegawai negeri adalah pegawai negeri sipil dan militer dan semua pejabat negara.

c) Pasal 28 menetapkan bahwa sebelum seseorang diangkat menjadi pegawai negeri mengangkat sumpah: ”Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah.”

d) Pasal 23 menetapkan bahwa pegawai negeri diberhentikan tidak dengan hormat karena melanggar sumpah/janji karena tidak setia kepada Pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah, dan atau melakukan penye-lewengan terhadap ideologi negara Pancasila, UUD 1945 atau terlibat dalam kegiatan yang menentang negara dan pemerintah.

3. UU No. 32 tahun 2004 tentang Peme-rintahan Daerah.

Undang-undang tersebut di antaranya me-nentukan:
a) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai kewajiban memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta mempertahankan dan me-melihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 27).

b) Anggota DPRD mempunyai kewajiban mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan menaati segala peraturan perundang-undangan; mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 45).

Bahwa masih banyak peraturan perundang-undangan yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu Lembaga legislatif harus secepat mungkin merevisi atau mencabut peraturan perundang-undangan tersebut.

Merujuk pada berbagai UU tersebut di atas, bagi pegawai negeri, Pancasila adalah segalanya, karena sangat menentukan sikap dan perilakunya dalam menjalankan tugasnya sebagai aparatur negara. Bagi pegawai negeri yang tidak taat dan setia serta tidak mengamalkan Pancasila dapat dipecat tidak dengan hormat. Namun penegakan hukum terhadap UU No. 43 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 ini masih sangat lemah, masih terdapat begitu banyak penyimpangan, namun tetap dibiarkan saja tanpa sanksi apapun. Negara Indonesia sebagai negara hukum tidak selayaknya membiarkan kondisi demikian. Perlu usaha nyata untuk men-sosialisasikan UU dimaksud, Melaksanakan law enforcement, serta penindakan terhadap pelang-garnya. Dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, senang maupun tidak senang, setiap penyelenggara negara dan pemerintahan wajib berpegang teguh dan taat pada Pancasila dalam hidup berbangsa dan bernegara. Dengan demikian ketentuan-ketentuan hukum dalam peraturan perundang-undangan tersebut dapat diselenggarakan dengan semestinya.
Di samping itu setiap warganegara memiliki kewajiban untuk taat kepada segala peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga wajib pula untuk berpegang teguh pada Pancasila sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setiap warganegara wajib memahami hak dan kewajibannya selaku warganegara, serta memahami hal-hal yang selayaknya dikerjakan dan hal-hal yang selayaknya dihindari sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. Implementasi Pancasila sebagai Dasar Negara
Dalam rangka upaya implementasi Pancasila pada berbagai peraturan perundang-undangan perlu ditentukan nilai dasar yakni nilai yang dijadikan tujuan umum yang hendak diwujudkan dengan segala peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nilai dasar tersebut antara lain adalah: keadilan, kesejahteraan, keamanan dan kebaha-giaan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Nilai dasar ini perlu dijabarkan lebih lanjut menjadi nilai instrumental, agar dapat dilaksanakan sesuai dengan pola pikir Pancasila. Di samping itu faham nasionalisme juga mewarnai segala peraturan perundang-undangan, agar cita-cita bangsa sebagaimana yang dimaksud dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dapat terwujud.
Nilai instrumental yang telah menjelujuri segala peraturan perundang-undangan tersebut harus memperhatikan situasi dan kondisi, sehingga segala peraturan perundang-undangan dapat diterapkan secara kontekstual dan aktual. Demikianlah wujud implementasi Pancasila sebagai dasar negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

E. Implementasi Dasar Negara pada Otonomi Daerah
Dengan diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sering terjadi kesalah fahaman dalam memaknai ”pemberian otonomi yang seluas-luasnya” pada pemerintah daerah. Dengan berdalih memberikan akomodasi terhadap kearifan lokal, atau local wisdom, daerah memandang memiliki hak untuk berbuat bebas dalam mengembangkan daerahnya tanpa berpegang teguh pada hukum nasional. Begitu banyak peraturan daerah (Perda) yang bertentangan dan menyimpang dari dasar negara Pancasila, serta tidak menghormati keanekaragaman bangsa, bahkan melepaskan diri dari keterikatan bangsa. Peraturan daerah yang tidak menjabarkan dasar negara Pancasila harus dicabut dan diubah serta disesuaikan dengan dasar negara Pancasila.
F. Faktor-faktor yang mempengaruhi
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi dasar negara Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di antaranya adalah:
1. Terdapatnya pihak-pihak yang belum ikhlas dan/atau belum memahami Pancasila sebagai dasar negara dan ingin menggantinya dengan faham lain. Ternyata masih banyak peraturan perundang-undangan, utamanya peraturan daerah yang bertentangan dan menyimpang dari Pancasila, karena menerapkan prinsip atau asas lain.
2. Masih terbatasnya ahli penyusun undang-undang (legal drafter) yang belum memahami Pancasila sebagai dasar negara di lembaga legislatif, sehingga terjadi penyimpangan dalam menyusun peraturan perundang-undangan.
3. Kurang difahami atau diabaikannya makna Undang-undang Nomor 10 tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan oleh para anggota lembaga legislatif, sehingga terjadi kerancuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.
4. Kesalahan dalam memaknai kearifan lokal atau local wisdom di daerah, sehingga dalam penyusunan peraturan daerah mengarah pada terjadinya eksklusivisme daerah.
G. Kesimpulan:

1. Sesuai dengan permintaan ketua BPUPKI maka penggagas awal, Ir. Soekarno, mengemukakan gagasannya yang kemudian bernama Pancasila memang dirancang sebagai dasar Negara Republik Indonesia.

2. Pancasila digali dari adat budaya bangsa, yang berkembang pada suku-suku yang tersebar di seluruh nusantara, merupakan watak bersama (common denominator) adat budaya bangsa, yang diakui memiliki kebenaran dan diyakini dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang pluralistik serta mampu mengantar rakyat Indonesia mencapai keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan.

3. Pancasila sebagai dasar negara telah menjadi kesepakatan bangsa, dan selalu tercantum dalam Pembukaan atau Mukadimah Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Negara Republik Indonesia.

4. Pancasila sebagai dasar negara bersifat konstitutif dan regulatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga segala peraturan perundang-undangan dan penye-lenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara harus merupakan transformasi nilai-nilai Pancasila.

5. Pancasila adalah Staatsfundamentalnorm atau pokok kaidah fundamental negara (Prof. Drs. Notonagoro, SH), yang bermakna bahwa Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum bagi sistem hukum di Indonesia.

BAB IV
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI

anusia dalam mengemban tugas hidupnya selalu dibebani oleh suatu obsesi yakni untuk mencapai kebahagiaan dalam hidupnya, meskipun makna kebahagiaan dapat saja berbeda antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Dalam rangka menggapai kebahagiaan tersebut manusia berpegang pada suatu pandangan hidup yang dijadikan acuan dalam mengejar kebahagiaan tersebut. Pandangan hidup berisi gagasan dasar yang tumbuh berkembang dan mengkristal dalam masyarakat di mana manusia tersebut hidup. Pandangan hidup tersebut berisi gagasan dasar yang diyakini, mengandung kebenaran, dan apabila dilaksanakan secara konsisten akan mengarah pada terwujudnya cita-cita hidupnya. Tanpa pandangan hidup ini manusia tidak memiliki pegangan dalam membawa diri dan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Tanpa pandangan hidup manusia akan terombang-ambing dalam perjalanan hidupnya, tidak memiliki tujuan yang jelas dan pasti, serta tidak memiliki cara yang tangguh dalam mengatasi permasalahan dimaksud. Pandangan hidup yang berisi gagasan dasar secara sistematik berkembang menjadi ideologi.
Demikian pula halnya dengan kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan bernegara memerlukan ideologi yang dijadikan panduan dalam menyelenggarakan kehidupan berpemerintahan dan bernegara. Pada akhir abad XX timbul pendapat bahwa ideologi telah mati, namun realitas menunjukkan bahwa memasuki abad XXI setiap negara masih memiliki ideologinya masing-masing, bahkan timbul ideologi transnasional yang perkembangannya menembus antar bangsa. Agar ideologi ini dapat didudukkan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara, sehingga dapat dimanfaatkan guna mengantisipasi perkembangan berbagai ideologi, maka dipandang perlu memahami makna ideologi secara tepat dan benar, serta bagaimana ideologi ini diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
A. Pengertian Ideologi
Ideologi berasal dari kata Yunani idein yang berarti melihat dan logia yang berarti kata atau ajaran, sehingga ideologi adalah ilmu tentang melihat ke depan atau cita-cita, gagasan atau buah pikiran. A. Destult de Tracy (+ 1836) berpendapat bahwa ideologi merupakan bagian dari filsafat, karena filsafat mendasari semua ilmu seperti pendidikan, etika dan politik.
Dr. Alfian berpendapat bahwa ideologi adalah pandangan hidup atau filsafat yang berintikan serangkaian nilai (norma) atau sistem nilai dasar yang bersifat menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh suatu masyarakat atau bangsa sebagai wawasan atau pandangan hidup mereka. Nilai dasar tersebut biasanya bersumber dari budaya dan pengalaman sejarah masyarakat atau bangsa, berakar dan hidup dalam realita kehidupan mereka, terutama pada waktu mereka berkonsensus untuk menjadikannya ideologi.
Prof. Padmo Wahjono, SH, berpendapat bahwa ideologi diberi makna sebagai pandangan hidup bangsa, falsafah hidup bangsa, berupa seperangkat tata nilai yang dicita-citakan yang direalisir di dalam kehidupan berkelompok. Ideologi ini akan memberi-kan stabilitas arah dalam hidup berkelompok dan sekaligus memberikan dinamika gerak menuju ke tujuan yang dicita-citakan.
Prof. Dr. Soerjanto Poespowardojo memberikan arti ideologi sebagai keseluruhan pandangan cita-cita, nilai dan keyakinan yang ingin mereka wujudkan dalam kenyataan hidup yang konkrit.
M. Syafaat Habib berpendapat bahwa ideologi adalah suatu kepercayaan politik sebagai hasil kemauan bersama, sehingga membentuk keyakinan yang kokoh dalam komunitas politik. Ideologi ini dalam perjalanan sejarah bangsa akan dijadikan landasan tidak bergerak yang tangguh, dan sekaligus menjadi cita-cita yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata masa kini dan masa selanjutnya.
Dari berbagai pendapat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ideologi adalah:

Suatu ideologi akan mantap apabila mengandung konsep yang diakui kebenarannya, mempunyai prinsip yang disepakati bersama, mengandung nilai dasar, membudayanya nilai-nilai yang terkandung dalam idiologi tersebut yang selanjutnya di-implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam membudayakan dan mengimplementasikan ideologi berpegang pada sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan secara dinamis.
Dengan kata lain ideologi adalah: “Gagasan, cita-cita yang mengandung konsep, prinsip, dan nilai dasar yang membentuk sistem nilai yang utuh, bulat dan mendasar yang merupakan pencerminan dari pandangan hidup dan fIlsafaT hidup suatu bangsa, berbentuk kepercayaan politik yang kokoh sebagai hasil kemauan ber-sama dan menjadi landasan yang tangguh dan arah yang jelas dalam mencapai tujuan bersama.” Disamping itu dapat juga dikatakan bahwa Ideologi adalah ajaran, doktrin, teori atau ilmu yang diyakini kebenarannya dan disusun secara sistematis serta diberi petunjuk pelaksanaannya guna menanggapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
B. Pancasila sebagai Ideologi (Nasional Bangsa Indonesia)
Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998, di antaranya menentukan bahwa: “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.” Dalam Catatan Risalah/Penjelasan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Ketetapan ini disebutkan: “Bahwa dasar negara yang dimaksud dalam Ketetapan ini di dalamnya mengandung makna ideologi nasional sebagai cita-cita dan tujuan negara.” Dengan demikian tidak perlu diragukan lagi bahwa Pancasila telah ditetapkan oleh bangsa Indonesia sebagai ideologi nasional bagi bangsa Indonesia, yang bermakna bahwa Pancasila bukan ideologi bagi suku atau golongan tertentu dari bangsa Indonesia, tetapi merupakan ideologi seluruh bangsa Indonesia.
Hal tersebut ditegaskan pula dalam TAP MPR RI No. V/MPR/2000, tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Pada Arah Kebijaksanaan disebutkan: “Menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara yang terbuka dengan membuka wacana dan dialog terbuka di dalam masyarakat sehingga dapat menjawab tantangan sesuai visi Indonesia masa depan.”
Timbul pertanyaan: “Apakah Pancasila memenuhi syarat sebagai idiologi?”
Di atas telah dikemukakan bahwa ideologi harus mengandung gagasan dasar, nilai dasar, konsep dan prinsip yang membentuk suatu sistem nilai yang utuh, bulat dan mendasar.
Konsep-konsep yang terdapat dalam Pancasila sebagaimana tersebut dalam bab terdahulu tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi merupakan suatu rangkaian yang merupakan suatu kesatuan sistemik dan integral. Kehilangan salah satu konsep akan menghilangkan eksistensi Pancasila. Dengan kata lain bahwa Pancasila memenuhi syarat bagi suatu ideologi. Sementara itu, konsep yang terdapat dalam Pancasila merupakan kenyataan hidup dalam masyarakat Indonesia dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas sampai Rote, sehingga merupakan ideologi bagi bangsa Indonesia.
C. Pancasila Ideologi Terbuka

Sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto, Pancasila dinyatakan sebagai ideologi terbuka.

Menurut Dr. Alvian, suatu ideologi terbuka memiliki tiga dimensi, yakni (1) dimensi realitas, yakni bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi tersebut secara riil berakar dan hidup dalam masyarakat, (2) dimensi idealisme yaitu bahwa ideologi tersebut memberikan harapan tentang masa depan yang lebih baik, dan (3) dimensi fleksibilitas atau dimensi pengembangan, yaitu bahwa ideologi tersebut memiliki keluwesan yang memungkinkan pengembangan pemikiran.

Dikemukakan pula bahwa Pancasila tidak diragukan memiliki tiga dimensi tersebut:

Pertama bahwa nilai yang terkandung dalam Pancasila memang senyatanya, secara riil, terdapat dalam kehidupan di berbagai pelosok tanah air, sehingga nilai-nilai tersebut bersumber dari budaya dan peng-alaman sejarah bangsa;

Kedua bahwa nilai yang terkandung dalam Pancasila memberikan harapan tentang masa depan yang lebih baik, meng-gambarkan cita-cita yang ingin dicapai dalam kehidupan bersama;

Ketiga bahwa Pancasila memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan mendorong pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya, tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat atau jatidiri yang terkandung dalam nilai-nilainya.

Sebagai ideologi terbuka Pancasila diharapkan selalu tetap komunikatif dengan perkembangan masya-rakatnya yang dinamis dan sekaligus memantapkan keyakinan masyarakat terhadapnya. Maka ideologi Pancasila harus dibudayakan dan diamalkan, sehingga akan menjiwai serta memberi arah proses pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Drs. Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara mengemukakan, dalam rangka mengimplementasi-kan Pancasila sebagai ideologi terbuka perlu dibedakan antara (a) nilai dasar, (b) nilai instrument-tal, dan (c) nilai praksis yang terkandung dalam Pancasila. Dengan pelaksanaan Pancasila sebagai ideologi terbuka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, utamanya dalam memecahkan berbagai permasalahan menjadi lebih konsisten, aktual dan kontekstual, sehingga Pancasila benar-benar ber-manfaat dan bermakna dalam kehidupan yang nyata.

D. Peran dan Fungsi Pancasila sebagai Ideologi (Nasional Bangsa Indonesia)
Ideologi sebagaimana disampaikan Prof. Padmo Wahyono, SH. berperan memberikan stabilitas, arah dalam hidup berkelompok dan sekaligus memberikan dinamika gerak menuju yang dicita-citakan. Ideologi berupa pandangan hidup, falsafah hidup bangsa, merupakan seperangkat tata nilai yang dicita-citakan, yang diyakini kebenarannya, perlu direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, untuk menjaga tetap tegak dan kokohnya negara-bangsa.
Dengan adanya seperangkat tata nilai yang kita sepakati bersama maka rakyat secara tidak ragu-ragu bahkan merasa mantap menuju cita-cita bersama sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi dalam mengatasi permasalahan bangsa.
Ideologi berfungsi sebagai bintang pemandu arah dalam menggapai cita-cita negara bangsa, untuk selanjutnya dijabarkan menjadi program kegiatan bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan, sehingga dapat dijadikan pegangan dalam menyusun garis-garis besar haluan negara.
E. Implementasi Pancasila sebagai Ideologi
Dalam rangka mengembangkan dan menerapkan Pancasila sebagai ideologi terbuka, Drs Moerdiono menggunakan pendekatan kontekstual dan aktual. Untuk keperluan dimaksud nilai yang terkandung dalam Pancasila dibedakan antara nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis. Nilai dasar adalah nilai yang terkandung dalam Pancasila yang bersifat tetap, tidak berubah dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi; nilai instrumental adalah nilai-nilai yang merupakan penjabaran dari nilai dasar dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan subtansi yang dihadapi, namun tetap tidak menyimpang dari nilai dasarnya. Nilai praksis adalah nilai turunan dari nilai dasar dan nilai instrumental yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi sewaktu dan setempat. Dapat saja nilai praksis nampaknya menyimpang dari nilai dasar, tetapi apabila diteliti secara cermat tidak akan terjadi penyimpangan dari esensi nilai dasarnya.

Sebagai contoh nilai dasar sejahtera memiliki makna kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia terjabar dalam nilai instrumental yang tertuang dalam norma instrumental seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) dengan rumusan sebagai berikut:
(1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2). Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3). Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Betapa penting arti implementasi nilai dasar Pancasila, karena bila nilai dasar tidak diimplemen-tasikan dengan sepantasnya, maka apa yang kita cita-citakan tidak kunjung terwujud, dan orang menjadi ragu akan ketangguhan idiologi nasional Pancasila sehingga menjadi tidak percaya dan cepat atau lambat akan ditinggalkan. Sesuai dengan prinsip umum sosialisasi, maka dalam upaya implementasi ideologi Pancasila dapat ditempuh tiga tahap, yakni:
Pemahaman (artikulasi) yang bermakna bahwa setiap warganegara diharapkan mema-hami dengan benar konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila melalui dialog interaktif dengan berbagai pihak, mempelajari sendiri dari dokumen resmi yang tidak menyesatkan, meng-adakan refleksi diri terhadap peng-alaman pribadi dan mengkaji pemikiran para ahli sehingga diperoleh keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila.
Internalisasi adalah proses menjadikan ideologi Pancasila sebagai bagian dari hidup setiap warganegara. Konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila dipergunakan sebagai acuan dalam penilaian terhadap segala hal ihwal yang dihadapinya.
Aplikasi yang bermakna menerapkan konsep, prinsip dan nilai Pancasila dalam praktek kehidupan yang nyata, meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan maupun aspek yang lain.
F. Faktor yang mempengaruhi Implementasi Ideo-logi Pancasila
Dalam mengimplementasikan ideologi Pancasila perlu diperhatikan faktor intern maupun faktor ekstern yang berpengaruh terhadap berkembangnya ideologi Pancasila. Sifat pluralistik bangsa, ditinjau dari keaneka-ragaman suku, adat budaya dan agama yang dipeluk masyarakat, sangat mungkin diman-faatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Sementara itu arus globalisasi bukan mustahil dimuati oleh ideologi transnasional yang dapat mengganggu per-kembangan dan kokohnya ideologi nasional.
Faham liberalisme yang mendukung prinsip kebebasan dan kesetaraan menyuburkan berkem-bangnya sikap materialistik, pragmatik, konsumeristik dan hedonistik sehingga melumerkan sikap terpuji sebagai pencerminan ideologi nasional Pancasila. Demikian pula ideologi yang mengusung prinsip-prinsip agama tertentu, kemungkinan menjadikan suatu ideologi sempit yang tidak akomodatif terhadap kemajemukan bangsa dapat mengundang terjadinya konflik yang dapat bermuara pada pertumpahan darah. Kita harus bersikap inklusif, saling menghormati antar umat beragama dan berkeper-cayaan dengan tidak merasa benar sendiri, merasa bahwa agama dan kepercayaanya yang paling benar dan menganggap salah agama atau kepercayaan yang lain.
Perlu pula diwaspadai kemungkinan berkem-bangnya komunisme, dalam berbagai dimensi dan lembaga kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar tetap diingat bahwa komunisme/Marxisme/Leninisme masih dilarang di negara ini, karena TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 masih tetap berlaku. Dalam Ketetapan MPRS tersebut dinyatakan bahwa ajaran komunisme/Marxisme/Leninisme dan yang sejenis bertentangan dengan ideologi nasional Pancasila.

G. Kesimpulan
Dari uraian dan ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Pancasila telah memenuhi syarat sebagai ideologi karena telah mengandung konsep, prinsip dan nilai yang membentuk sistem nilai yang utuh, bulat dan mendasar yang merupakan pencer-minan dari pandangan hidup, filsafat hidup dan cita-cita bangsa Indonesia.
2. Upaya implementasi Pancasila dapat dilakukan melalui penjabaran nilai dasar ke dalam nilai instrumental dan nilai praksis. Untuk melak-sanakan hal tersebut perlu ditempuh tiga tahapan yaitu pemahaman (artikulasi), interna-lisasi dan aplikasi.

BAB V
PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP
A. Makna pandangan hidup
etiap bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan pandangan hidup. Dengan pandangan hidup inilah suatu bangsa akan memandang persoalan yang dihadapinya dan menentukan arah serta cara memecahkannya dengan tepat.

Dengan pandangan hidup yang jelas, suatu bangsa akan memiliki pegangan dan pedoman guna memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan pertahanan keamanan yang timbul dalam gerak masyarakat yang makin maju. Dengan berpedoman pada pandangan hidup itu pula suatu bangsa akan membangun dirinya.
Dalam pandangan hidup ini terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa serta dasar pemikiran terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pada akhirnya, pandangan hidup suatu bangsa adalah kristalisasi dan institusionalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki dan diyakini kebenarannya serta menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya. Tanpa memiliki pandangan hidup, suatu bangsa akan merasa terombang-ambing dalam menghadapi persoalan besar yang timbul, baik persoalan di dalam masyarakatnya sendiri maupun persoalan besar umat manusia dalam pergaulan antar bangsa di dunia. Karena itulah pandangan hidup suatu bangsa merupakan masalah yang sangat asasi bagi kekokohan dan kelestarian suatu bangsa. Pandangan hidup berkaitan dengan sistem nilai, tentang baik dan buruk, tentang adil dan zalim, jujur dan bohong dan sebagainya. Dengan demikian, membahas Pancasila sebagai pandangan hidup berarti memasuki domein etika dan masalah moral yang menjadi kepedulian manusia sepanjang masa. Pancasila sebagai pandangan hidup membahas tentang hal ihwal yang selayaknya dikerjakan oleh manusia Indonesia dan yang selayaknya dihindari.
Agar dalam mengupas Pancasila sebagai pandangan hidup dapat dilakukan secara pro-porsional, dan dalam memperluas pandangan yang telah dikemukakan di depan, maka ada baiknya difahami terlebih dahulu makna (a) nilai; (b) norma, (c) etika dan moral, sebagai berikut :
1. Nilai adalah kualitas yang melekat pada suatu hal ihwal atau subyek tertentu yang berakibat dipilih atau tidaknya hal ihwal atau subyek tersebut dalam kehidupan masyarakat. Peme-rintahan yang adil selalu menjadi dambaan rakyat. Lukisan yang indah selalu diburu oleh para kolektor lukisan. Orang yang jujur selalu dihargai oleh masyarakatnya, dan sebagainya. Apabila nilai idaman dapat terwujud, maka akan menimbulkan rasa puas diri pada masyarakat, yang bemuara pada rasa tenteram, nyaman, sejahtera dan bahagia.
Nilai adalah kualitas, ketentuan yang bermakna bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan antar bangsa. Kehadiran nilai dalam kehidupan manusia dapat menimbulkan aksi atau reaksi, sehingga manusia akan menerima atau menolak kehadirannya. Konsekuensinya nilai menjadi tujuan hidupnya, yang ingin diwujudkan atau ditolak dalam kenyataan. Misal keadilan dan kejujuran, merupakan nilai yang selalu menjadi kepedulian dan dambaan manusia untuk dapat diwujudkan dalam kenyataan. Sebaliknya kezaliman dan kebohongan merupakan nilai yang selalu ditolak dalam kehidupan.
Di depan telah diuraikan makna konsep, prinsip dan nilai yang terdapat dalam Pancasila, yang menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia, dan ingin diwujudkan dalam kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai yang terkandung dalam Pancasila di antaranya damai, iman, taqwa, adil, setara, selaras, serasi, adab, rukun, bebas, mufakat, bijaksana, sejahtera dan sebagainya.

2. Norma adalah nilai yang dipergunakan sebagai ukuran untuk menentukan atau menilai suatu tingkah laku manusia. Norma berasal dari bahasa Latin yang artinya siku-siku, suatu alat untuk mengukur apakah suatu obyek tegak lurus atau miring. Demikian pula halnya dengan norma kehidupan, dipergunakan manusia sebagai pegangan atau ukuran dalam bersikap dan bertindak; apakah sikap dan tingkah lakunya menyimpang atau tidak menyimpang dari nilai yang telah ditetapkan. Dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dikenal berbagai norma, seperti norma agama, norma adat, norma moral, norma hukum dan sebagainya. Perkembangan nilai menjadi norma sangat tergantung dari pandangan masyarakat masing-masing serta tantangan zaman. Masing-masing mendukung nilai sesuai dengan bidangnya. Dari berbagai norma tersebut hanya norma hukum yang memiliki hak untuk memaksa, norma yang lain implementasinya bersendi pada kesadaran masyarakat yang bersangkutan.
3. Etika adalah ilmu tentang kesusilaan, cabang dari filsafat yang membahas mengenai nilai dan norma yang meliputi hal ihwal yang selayaknya dikerjakan dan yang selayaknya dihindari. Etika adalah seperangkat nilai, prinsip dan norma moral yang menjadi pegangan hidup dan dasar penilaian baik-buruknya perilaku atau benar-salahnya tindakan manusia, baik secara individual maupun sosial dalam suatu masyarakat. Dengan demikian etika yang membahas mengenai nilai, prinsip dan norma merupakan bentuk praktek dari filsafat teoretik, yang selanjutnya dipergunakan sebagai acuan bagi manusia dalam bersikap dan bertingkah laku.
B. Etika Kehidupan Berbangsa
Etika kehidupan berbangsa diatur dalam Ketetapan MPR RI Nomor: VI/MPR/2001 merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berfikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.

Rumusan tentang Etika kehidupan berbangsa ini disusun dengan maksud untuk membantu mem-berikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa.

Etika kehidupan berbangsa dirumuskan dengan tujuan menjadi acuan dasar untuk meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa.

Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.

Etika kehidupan berbangsa meliputi :
1. Etika Sosial dan Budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai dan saling menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa serta perlu menum-buhkembangkan budaya malu dan budaya keteladanan oleh para pemimpin formal maupun informal.
2. Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis bercirikan keterbukaan, rasa bertangungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati dan siap mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan secara moral maupun secara hukum dan rasa keadilan.
3. Etika Ekonomi dan Bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi dan bisnis dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi, pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil secara berkesinambungan. Etika ini untuk mencegah terjadinya praktek monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang mengarah kepada korupsi, kolusi, nepotisme dan diskriminasi.
4. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadar-an bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan semua peraturan yang berlaku. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warganegara dihadapan hukum.
5. Etika Keilmuan dimaksudkan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya yang berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya. Etika ini diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif dalam karsa, cipta dan karya, yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif dan komunikatif dalam kegiatan membaca, belajar, meneliti, menulis, berkarya serta menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Etika ini menegaskan pentingnya budaya kerja keras dengan menghargai dan memanfaatkan waktu, disiplin dalam berfikir, berbuat dan menepati janji serta mendorong tumbuhnya kemampuan menghadapi hambatan, rintangan dan tantangan dalam kehidupan, tahan uji dan pantang menyerah.
6. Etika Lingkungan menegaskan pentingnya kesadaran menghargai dan melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Bagi bangsa Indonesia nilai, norma dan etika yang dipergunakan sebagai pegangan dalam bersikap dan tingkah laku adalah konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti yang telah dkemukakan di depan. Agar konsep, prinsip dan nilai Pancasila ini dapat diimplementasikan secara tepat dan benar oleh setiap manusia Indonesia perlu adanya pedoman tingkah laku bersendi Pancasila.
Pancasila lahir berdasarkan pengalaman sejarah hidup bangsa Indonesia, sehingga Pancasila yang dirumuskan pada tahun 1945 merupakan kristalisasi nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia. Maka Pancasila merupakan budaya bangsa Indonesia yang memiliki ciri khas, yakni mencerminkan nilai-nilai yang digali dari bangsa Indonesia sendiri.

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya merupakan perwujudan dari nilai-nilai budaya milik bangsa Indonesia sendiri yang diyakini kebaikan dan kebenarannya. Pancasila digali dari budaya bangsa yang sudah ada, tumbuh dan berkembang berabad-abad lamanya. Oleh karena itu Pancasila adalah khas milik bangsa Indonesia sejak keberadaannya sebagai sebuah bangsa. Pancasila merangkum nilai-nilai yang terkandung dalam adat istiadat, kebudayaan dan agama-agama yang ada di Indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai pandangan hidup mencerminkan jiwa dan kepri-badian bangsa Indonesia.

C. Peran dan Fungsi Pancasila Sebagai Pan-dangan Hidup
Pancasila dalam pengertian ini sering juga disebut way of life, Weltanschauung, wereldbeschouwing, wereld en levenbeschou wing, pandangan dunia, pandangan hidup, pegangan hidup, pedoman hidup. Dalam hal ini Pancasila dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (Pancasila diamalkan dalam hidup sehari-hari). Dengan kata lain: Pancasila digunakan sebagai pedoman arah semua kegiatan atau aktivitas hidup dalam kehidupan di segala bidang. Ini berarti, bahwa semua tingkah laku dan tindak perbuatan setiap manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari semua sila Pancasila.

Sebagai pandangan hidup, Pancasila juga berperan sebagai pedoman dan penuntun sikap dan perilaku setiap warganegara dalam kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian ia menjadi suatu ukuran atau kriteria yang diterima dan berlaku untuk semua pihak.

Pancasila sebagai pandangan hidup memiliki fungsi menjadi pegangan atau acuan bagi manusia Indonesia dalam bertingkah laku, baik dalam berhubungan dengan sesama manusia, dengan Tuhan yang menciptakannya maupun dengan ling-kungannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pancasila sebagai pandangan hidup mempunyai peran dan fungsi sebagai berikut:
1. Membuat bangsa kita berdiri kokoh dan memiliki daya tahan terhadap segala ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan.
2. Menunjukkan arah tujuan yang akan dicapai sesuai dengan cita-cita bangsa.
3. Menjadi pegangan dan pedoman untuk meme-cahkan berbagai masalah dan tantangan di bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan kea-manan nasional.
4. Mendorong timbulnya semangat dan kemam-puan untuk membangun diri bangsa Indonesia.
5. Menunjukkan gagasan-gagasan mengenai wujud kehidupan yang dicita-citakan.
6. Memberikan kemampuan untuk menyaring segala gagasan dan pengaruh kebudayaan asing yang menyusup melalui ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

D. Implementasi Pancasila sebagai Pandangan Hidup
Sebagai pandangan hidup, Pancasila memberi tuntunan kepada manusia Indonesia dalam bersikap dan bertingkah laku. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dijadikan norma moral bagi bangsa Indonesia dalam berbuat, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena kedudukan nilai-nilai Pancasila disini sebagai norma moral, maka pelaksanaannya didasarkan pada keyakinan dan kesadaran pemakainya. Pelanggaran terhadap Pancasila sebagai pandangan hidup, berupa sanksi moral dan sosial. Orang yang tidak dapat mengendalikan diri, suka memaksakan kehendak kepada orang lain tak akan dikenakan sanksi hukum. Hendaknya timbul rasa malu bagi mereka yang tidak melaksanakan nilai-nilai yang dimaksud dalam kehidupan sehari-hari.
Tuntunan Pancasila sebagai pandangan hidup dalam bersikap dan bertingkah laku adalah sebagai berikut:

1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketak-waan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Di dalam kehidupan masyarakat Indonesia dikembangkan sikap hormat-meng-hormati dan bekerjasama antara pemeluk-pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga dapat selalu dibina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan YME. Sadar bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan YME yang dipercayai dan diyakininya, maka dikembangkanlah sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya dan tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaannya itu kepada orang lain.

2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan YME, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban-kewajiban asa-sinya, tanpa membeda-bedakan suku, ketu-runan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Karena itu dikembangkanlah sikap saling mencintai (menghormati) sesama manusia, sikap tenggang rasa dan “tepa salira”, serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembang-kanlah sikap hormat-menghormati dan beker-jasama dengan bangsa-bangsa lain.
3. Sila Persatuan Indonesia.
Dengan sila Persatuan Indonesia, manusia Indonesia menempatkan persatuan, kesatuan serta kepentingan dan keselamat-an bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Menempatkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi berarti bahwa manusia Indonesia sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa. Oleh karena sikap rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa itu dilandasi oleh rasa cinta kepada Tanah Air dan Bangsanya maka dikembangkanlah rasa kebanggaan berkebang-saan dan bertanah air Indonesia.
Persatuan dikembangkan atas dasar Bhinneka Tunggal Ika, dengan memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa.
Dalam rangka mencapai perdamaian dunia atas dasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka hubungan antar bangsa didasarkan pada prinsip saling menghormati dan bekerjasama.

4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya-waratan/perwakilan.
Dengan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawara-tan/perwakilan, manusia Indonesia sebagai warganegara mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Dalam menggunakan hak-haknya ia menyadari perlunya memperhatikan dan mengutama-kan kepentingan negara dan kepentingan masyarakat.
Karena mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama maka pada dasarnya tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain. Sebelum diambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama terlebih dahulu diadakan musyawarah. Keputusan diusahakan secara mufakat. Musyawarah untuk mencapai mufakat ini diliputi oleh semangat kekeluargaan yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
Manusia Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah, karena itu semua pihak yang bersangkutan harus menerimanya dan melaksanakannya dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab. Di sini kepentingan bersamalah yang diutamakan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Pembicaraan dalam musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama. Dalam melaksanakan permus-yawaratan, kepercayaan diberikan kepada wakil-wakil yang dipercayainya.

5. Sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkanlah perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan perilaku dalam suasana kekeluargaan serta kegotong royongan.
Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menghormati hak-hak orang lain dan menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Demikian pula perlu dipupuk sikap suka memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan agar dapat berdiri sendiri. Dengan sikap yang demikian ia tidak menggunakan hak miliknya untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain, juga tidak untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan hidup bergaya mewah serta perbuatan-perbuatan lain yang bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
Demikian juga dipupuk sikap suka bekerja keras dan sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama. Kesemuanya itu dilaksanakan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan yang merata dan keadilan sosial.

E. Faktor yang mepengaruhi implementasi
Semua agama selalu memiliki kepedulian dengan pengembangan moral, yang harus diupayakan agar manusia selalu berpegang teguh pada moral yang didambakan dalam hidupnya. Demikian juga halnya dengan adat budaya masyarakat selalu peduli pula pada moral, sehingga membahas Pancasila sebagai pandangan hidup dapat saja bersing-gungan dengan ajaran agama dan/atau adat budaya suatu masyarakat tertentu. Kehidupan modern-pun mengembangkan nilai dan norma tertentu yang dimanfaatkan sebagai acuan bersikap dan bertingkah laku manusia.
Di era globalisasi, hubungan antar bangsa demikian erat, maka untuk membangun masyarakat modern harus membuka diri agar tidak tertinggal oleh kemajuan bangsa-bangsa lain. Ketika meletakkan dasar-dasar negara modern, kita tidak saja menyerap masuknya modal, teknologi, ilmu pengetahuan dan keterampilam dari luar, akan tetapi terbawa pula masuknya nilai-nilai sosial dan politik yang berasal dari kebudayaan lain. Masuknya nilai-nilai kebudayaan lain ini makin deras mengalir sejalan dengan kebebasan yang dibuka di era reformasi.
Bagi bangsa Indonesia yang penting adalah agar mampu menyaring nilai-nilai dari luar tersebut, sehingga nilai-nilai yang baik dan sesuai dengan kepribadian kita sendirilah yang kita serap, sedangkan nilai-nilai yang tidak sesuai, lebih-lebih yang dapat merusak kepribadian, harus kita tolak.
Oleh karena itu yang lebih penting adalah bagaimana kita memahami dan mengimple-mentasikan Pancasila dalam segala segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanpa ini maka Pancasila hanya merupakan rangkaian kata-kata indah yang terlukis dalam Pembukaan UUD 1945.
F. Kesimpulan
1. Kita merasa sangat bersyukur bahwa pendahulu-pendahulu atau founding fathers kita, pendiri-pendiri Republik ini dapat menggali dan meru-muskan secara jelas apa sesungguhnya pan-dangan hidup bangsa kita yang kemudian dinamakan Pancasila.
2. Pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara NKRI. Disamping itu Pancasila sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia.
3. Pancasila bagi kita merupakan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah berurat berakar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia, yaitu suatu kebudayaan yang mengajarkan bahwa hidup manusia akan mencapai kebahagiaan jika dapat dikembangkan keselarasan dan keseim-bangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia dengan alam, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kebaha-giaan lahiriah dan batiniah.
4. Dengan Pancasila sebagai pandangan hidup maka manusia Indonesia dalam bersikap dan bertingkah laku dituntun oleh kelima sila dari Pancasila. Begitu pula peranan kepemimpinan dalam memahami, menghayati dan menga-malkan Pancasila menduduki tempat yang sangat strategis dan menentukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berne-gara. Kepemimpinan yang berdasarkan Pancasila ialah kepemimpinan yang memiliki jiwa Pancasila, yang memiliki wibawa dan mampu untuk membawa-serta dan memimpin masyarakat lingkungannya dalam kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara berda-sarkan Pancasila.

BAB VI

PANCASILA SEBAGAI PEMERSATU BANGSA
angsa Indonesia terdiri dari berbagai suku dan kelompok masyarakat yang memiliki beraneka ragam adat, budaya, bahasa, serta memeluk berbagai agama dan manganut bermacam keper-cayaan, membentuk kelompok atau strata masyarakat berdasar tingkat penguasaan ilmu pengetahuan, kepemilikan materi, serta tingkat perkembangan, sehingga bangsa Indonesia memiliki potensi yang sangat rentan akan perpecahan.
Waktu Belanda menjajah Nusantara, banyak patriot yang melawan untuk mengusir penjajah, namun Belanda senantiasa dapat dengan mudah mematahkan semua perlawanan dari kelompok yang bersangkutan. Hal itu disebabkan karena perlawanan mereka berlangsung secara sporadik, terpisah-pisah, tidak terkoordinasikan menjadi satu kekuatan yang kompak dan menyatu. Banyak pahlawan bangsa gugur beserta para pengikutnya yang tersebar hampir di segala penjuru nusantara mulai dari Aceh, Sumatera Barat, Jawa, Bali, Makasar, Ambon, Ternate dan sebagainya.
Atas pengalaman itu mulailah putera-putera Nusantara sadar bahwa melawan penjajah secara sendiri-sendiri dan terpisah selalu dapat dipatahkan dan hanya dengan persatuan dan kesatuan yang kokoh dari seluruh komponen bangsa, penjajah dapat dilawan dan dapat dikalahkan. Timbullah kesadaran di kalangan pemuda pada waktu itu bahwa untuk mengikat kelompok masyarakat menjadi suatu bangsa yang memiliki kekuatan yang utuh dan tangguh diperlukan rasa nasionalisme dan patriotisme guna membangkitkan semangat generasi muda dalam perjuangan yang bersifat nasional. Mulai tumbuh jiwa patriotisme dan nasionalisme di kalangan pemuda sehingga semangat untuk merdeka terus mengalir seiring dengan sikap anti penjajah. Sikap inilah yang mendasari lahirnya Kebangkitan Nasional, dimulai dengan berdirinya perkumpulan Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Perkumpulan ini memicu para pemuda dari berbagai daerah untuk membentuk organisasi pemuda meskipun masih bernuansa kedaerahan untuk mendirikan negara bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Organisai pemuda-pemuda ini yang mengantar lahirnya Sumpah Pemuda yang diikrarkan di Batavia pada tanggal 28 Oktober 1928, sebagai berikut:
Pertama: KAMI PUTERA DAN PUTERI INDO-NESIA MENGAKU BERTUMPAH DARAH YANG SATU, TANAH INDO-NESIA.
Kedua: KAMI PUTERA DAN PUTERI INDO-NESIA MENGAKU BER-BANGSA YANG SATU, BANGSA INDONESIA.
Ketiga: KAMI PUTERA DAN PUTERI INDO-NESIA MENJUNJUNG BA-HASA PERSATUAN, BAHASA INDONE-SIA.
Sumpah pemuda mengandung nilai-nilai luhur yang dijadikan inspirasi perjuangan para pemuda untuk menempatkan persatuan dan kesatuan di atas segalanya yang dilandasi oleh jiwa dan semangat patriotisme dan nasionalisme yang tinggi.
Pada waktu itulah secara de facto telah lahir bangsa Indonesia yang terdiri dari persatuan antara seluruh organisasi dan unsur yang ada di Nusantara.
Bangsa Indonesia kemudian berjuang dengan gigih melalui cara non kooperatif dan kooperatif, melalui perjuangan di Dewan Hindia Belanda atau Volksraad (Parlemen yang dibentuk oleh Belanda). Dengan modal kesadaran nasional yang kuat serta sikap mental sebagai bangsa yang besar dan bersatu, bangsa Indonesia berhasil mencapai kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 yang diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Drs, Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberhasilan tersebut berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
A. Makna Pancasila Sebagai Pemersatu Bangsa
Sesungguhnya bangsa Indonesia sudah terbentuk pada waktu Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yaitu dengan Sumpah Pemuda yang mendeklarasikan “Tumpah darah yang satu, tanah Indonesia; Bangsa yang satu bangsa Indonesia, Bahasa persatuan bahasa Indonesia.” Sumpah pemuda ini menjadi komitmen seluruh organisasi dan seluruh golongan masyarakat untuk direalisasikan dalam kehidupan yang nyata. Bersatunya organisasi tersebut dilandasi oleh niat untuk bersatu karena adanya persamaan nasib di bawah penjajahan Belanda serta pengalaman melawan Belanda yang gagal karena bersifat kedaerahan. Persamaan nasib yang dialami oleh berbagai suku bangsa di Nusantara tersebut menjadi pendorong tumbuhnya kehendak bersatu. Bersatunya bangsa Indonesia ini seperti yang dikatakan oleh Ernest Renan bahwa syarat bagi suatu bangsa adalah kehendak untuk bersatu dan orang-orangnya merasa diri untuk bersatu serta mau bersatu.
Sementara menurut Otto Bauer persamaan nasib menumbuhkan satu persatuan perangai yang merupakan ciri atau identitas bangsa. Identitas bangsa ini berkembang menjadi jatidiri bangsa berisi nilai-nilai yang merupakan kristalisasi dan merupakan watak bersama atau common denominator dari nilai-nilai yang berkembang pada suku-suku bangsa di seluruh Nusantara. Kristalisasi nilai-nilai ini yang kemudian oleh para founding fathers dirumuskan menjadi Pancasila. Singkat kata bahwa Pancasila merupakan perekat, pengikat dan pemersatu bangsa Indonesia, yang penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kebebasan kepada setiap warganegara untuk memeluk agama dan kepercayaan sesuai dengan yang diyakini, serta mendudukkan warganegara setara di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia Indonesia yang demikian majemuk ditinjau dari suku, adat budaya, agama yang dipeluknya, tidak dibeda-bedakan di hadapan Tuhan, bebas menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan secara bertanggung jawab. Pancasila memberikan arahan bahwa bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi perekat dan pemersatu bangsa Indonesia.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab bermakna bahwa manusia didudukkan sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya. Dalam rangka mengimplementasikan fikir, rasa dan karsanya, serta dalam mengemban amanah yang dibebankan oleh Tuhan, manusia memiliki kebebasan yang bertanggung jawab. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dalam kesetaraan. Pancasila mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Oleh karena itu sila Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menjadi perekat dan pemersatu bangsa Indonesia.

3. Setiap warganegara Indonesia terikat dalam satu komunitas yang bernama bangsa Indonesia. Setiap warganegara didudukkan sama di hadapan hukum. Setiap warganegara merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsanya, merasa ikut memiliki, mencintainya, untuk selanjutnya rela berkorban, baik harta benda maupun jiwa raganya demi negara bangsanya. Pancasila memberikan arahan terhadap warganegara merasa satu kesatuan sebagai bangsa, serta mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Binneka Tunggal Ika.

4. Dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan bermakna bahwa setiap warganegara diakui memiliki kewenangan yang sama dalam menentukan kebijakan yang akan menentukan cita-cita dan tujuan bersama, akhirnya seluruh warga bangsa dapat menikmati keadilan sosial yang menjadi cita-cita dan tujuan bersama. Perbedaan yang timbul dalam masyarakat Indonesia harus diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat tanpa mengabaikan kepentingan golongan minoritas. Justru golongan minoritas harus dijaga dan diayomi oleh kelompok atau golongan mayoritas. Di sinilah letaknya musyawarah untuk mencapai mufakat menjadi perekat atau pemersatu bangsa.

5. Untuk mewujudkan Keadilan Sosial dilakukan dengan cara kerja keras, disiplin profesional, jujur, bertanggung jawab dan mengembangkan perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan serta sikap adil terhadap sesama. Suka memberikan pertolongan dan melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. Akhirnya seluruh warga bangsa dapat menikmati keadilan yang menjadi cita-cita bersama. Cita-cita dan tujuan seluruh rakyat Indonesia adalah terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk kepentingan perorangan atau golongan. Setiap warganegara memiliki hak yang sama dalam memperoleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum dari pemerintah, termasuk pelayanan hukum yang adil.
Sila-sila Pancasila nampak dengan nyata memiliki potensi sebagai pengikat kemajemukan bangsa, karena Pancasila tidak membeda-bedakan segala unsur bangsa yang ada, tetapi didudukkan setara, dan diperlakukan sama dihadapan hukum. Implementasi Pancasila sebagai pemersatu segala unsur bangsa ini diterapkan dengan prinsip “Bhinneka Tunggal Ika.”
Para founding fathers, pada tahun 1945, telah mempermasalahkan bentuk negara yang akan didirikan, apakah konfederasi, federasi atau kesatuan, dan akhirnya dipilih bentuk negara kesatuan. Disadari pula bahwa negara yang akan didirikan memiliki keanekaragaman unsur negara-bangsa yang luar biasa, sehingga memerlukan pengikat untuk dapat terciptanya negara kesatuan tersebut. Pengikat kemajemukan unsur negara-bangsa tersebut tiada lain adalah Pancasila yang berkedudukan sebagai pengikat budaya bangsa, perekat dan pemersatu bangsa. Bung Karno menyatakan hanya Pancasila yang mampu mengikat bangsa Indonesia menjadi satu negara-bangsa yang kokoh dan kuat.
B. Penemuan dan Landasan Hukum Bhinneka Tunggal Ika
Sesanti atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh mPu Tantular, pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam karyanya kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa,“ yang artinya “berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.” Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam kehidupan dan pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian.
Pada tahun 1951, atau sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan oleh mPu Tantular, pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai semboyan yang terdapat dalam Lambang Negara Republik Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”.
Pada perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan resmi terdapat dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36A UUD 1945, yang berbunyi : “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”.
Semboyan tersebut terungkap di abad ke XVIII, dalam lambang negara Amerika Serikat, yang berbunyi “e pluribus unum,” sekitar empat abad setelah mPu Tantular mengemukakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika tersebut berasal dari pupuh 139, bait 5, kekawin Sutasoma yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Jawa Kuna Alih bahasa Indonesia
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Sesanti yang merupakan karya mPu Tantular, yang diharapkan dijadikan acuan bagi rakyat Majapahit dalam berdharma, oleh bangsa Indonesia, setelah memproklamasikan kemerdekaannya, dijadikan semboyan, acuan dan pegangan bangsa dalam hidup berbangsa dan bernegara. Seperti halnya Pancasila, istilah atau kata Bhinneka Tunggal Ika juga tidak tertera dalam UUD 1945 (asli), namun esensinya terdapat didalamnya. Untuk dapat dijadikan acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka Tunggal Ika perlu difahami secara benar untuk selanjutnya ditentukan bagaimana cara untuk mengimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat dipisahkan dari Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia, dan Dasar Negara Pancasila. Hal ini sesuai dengan komponen yang terdapat dalam Lambang Negara Indonesia. Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951 disebutkan bahwa: Lambang Negara terdiri atas tiga bagian, yaitu:

1. Burung Garuda yang menengok dengan kepalanya lurus ke sebelah kanannya;
2. Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan
3. Semboyan yang ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Di atas pita tertulis dengan huruf Latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa Kuno yang berbunyi : BHINNEKA TUNGGAL IKA.

Adapun makna Lambang Negara tersebut adalah sebagaki berikut:
Burung Garuda disamping menggambarkan tenaga pembangunan yang kokoh dan kuat, juga melam-bangkan tanggal kemerdekaan bangsa Indonesia yang digambarkan oleh bulu-bulu yang terdapat pada Burung Garuda tersebut. Jumlah bulu sayap sebanyak 17 di tiap sayapnya melambangkan tanggal 17, jumlah bulu pada ekor sebanyak 8 melambangkan bulan 8, jumlah bulu dibawah perisai sebanyak 19, sedang jumlah bulu pada leher sebanyak 45. Dengan demikian jumlah bulu-bulu burung garuda tersebut melambangkan tanggal hari kemerdekaan bangsa Indonesia, yakni 17-8-1945.
Sementara itu perisai yang tergantung di leher garuda menggambarkan Negara Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa, dilambangkan dengan garis hitam horizontal yang membagi perisai, sedang lima segmen menggambarkan sila-sila Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan bintang bersudut lima yang terletak di tengah perisai yang menggambarkan sinar Ilahi. Rantai yang merupakan rangkaian yang tidak terputus dari bulatan dan persegi menggambarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yang sekaligus melambangkan monodualistik manusia Indonesia. Kebangsaan dilambangkan oleh pohon beringin, sebagai tempat berlindung; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permu-syawarakatan/perwakilan dilambangkan dengan banteng yang menggambarkan kekuat-an dan kedaulatan rakyat. Sedang Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi yang menggambarkan kesejah-teraan dan kemakmuran.
Dengan gambaran tersebut, maka untuk dapat memahami lebih dalam makna Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat dipisahkan dari pemahaman makna dasar negara Pancasila sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Dengan Pancasila sebagai pemersatu, bangsa Indonesia mampu menyelesaikan segala perma-salahan yang dihadapinya guna mewujudkan dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa atas dasar Bhinneka Tunggal Ika. Ciri kebhinnekaan merupakan kondisi dan sifat bangsa Indonesia yang sudah ada, tumbuh dan berkembang sejak dahulu kala sebagai bangsa yang majemuk (pluralistik) dan bukan bangsa yang monolitik.
C. Konsep dasar Bhinneka Tunggal Ika
Apabila direnungkan secara mendalam maka di dalam Bhinneka Tunggal Ika tercantum konsep dasar yang dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.
Dalam rangka memahami konsep dasar dimaksud ada baiknya kita renungkan lambang negara yang tidak terpisahkan dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perlu kita mengadakan refleksi terhadap lambang negara tersebut.

Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep pluralistik dan multikulturalistik dalam kehidupan yang terikat dalam suatu kesatuan. Pluralistik bukan pluralisme, suatu faham yang membiarkan ke-anekaragaman seperti apa adanya. Membiarkan setiap entitas yang menunjukkan ke-berbedaan tanpa peduli adanya common denominator pada keaneka-ragaman tersebut. Dengan faham pluralisme tidak perlu adanya konsep yang mensubstitusi keanekaragaman. Demikian pula halnya dengan faham multikulturalisme. Masyarakat yang menganut faham pluralisme dan multi-kulturalisme, ibarat onggokan material bangunan yang dibiarkan teronggok sendiri-sendiri, sehingga tidak akan membentuk suatu bangunan yang namanya rumah.

Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti banyak, adalah suatu faham yang mengakui bahwa terdapat berbagai faham atau entitas yang tidak tergantung yang satu dari yang lain. Masing-masing faham atau entitas berdiri sendiri tidak terikat satu sama lain, sehingga tidak perlu adanya substansi pengganti yang mensubstitusi faham-faham atau berbagai entitas tersebut. Salah satu contoh di Indonesia terdapat ratusan suku bangsa. Menurut faham pluralisme setiap suku bangsa dibiarkan berdiri sendiri lepas yang satu dari yang lain, tidak perlu adanya substansi lain, yang namanya bangsa, yang mereduksi eksistensi suku-suku bangsa tersebut.
Pluralistik adalah sifat atau kualitas yang menggambarkan keanekaragaman; suatu penga-kuan bahwa alam semesta tercipta dalam keaneka ragaman. Sebagai contoh bangsa Indonesia mengakui bahwa Negara-bangsa Indonesia bersifat pluralistik, beraneka ragam ditinjau dari suku-bangsanya, adat budayanya, bahasa ibunya, agama yang dipeluknya, dan sebagainya. Hal ini merupakan suatu kenyataan atau keniscayaan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Keaneka ragaman ini harus didudukkan secara proporsional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harus dinilai sebagai asset bangsa, bukan sebagai faktor penghalang kemajuan. Perlu kita cermati bahwa pluralistik ini merupakan sunnatullah.
Prinsip pluralistik dan multikulturalistik adalah asas yang mengakui adanya kemajemukan bangsa dilihat dari segi agama, keyakinan, suku bangsa, adat budaya, keadaan daerah, dan ras. Kemajemukan tersebut dihormati dan dihargai serta didudukkan dalam suatu prinsip yang dapat mengikat keanekaragaman tersebut dalam kesatuan yang kokoh. Kemajemukan bukan dikembangkan dan didorong menjadi faktor pemecah bangsa, tetapi merupakan kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing komponen bangsa, untuk selanjutnya diikat secara sinerjik menjadi kekuatan pemersatu bangsa yang luar biasa guna dimanfaatkan dalam menghadapi segala tantangan dan persoalan bangsa.

D. Prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika
Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1. Dalam rangka membentuk kesatuan dari keanekaragaman tidak terjadi pembentukan konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur atau komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini terdapat aneka ragam agama dan kepercayaan. Dengan ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam kehidupan beragama di Indonesia dicari common denominator, yakni prinsip-prinsip yang ditemui dari setiap agama yang memiliki kesamaan, dan common denominator ini yang kita pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula halnya dengan adat budaya daerah, tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan kebangsaan.

2. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan eksklusif ini akan memicu terbentuknya “keakuan” yang berlebihan dengan tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif yang bermakna pengakuan keaneka-ragaman sebagai suatu kenyataan dalam hidup berbangsa dan bernegara agar mengarah tumbuh kembangnya sikap kebersamaan, toleransi, kerjasama, saling mempercayai dan memperhatikan pihak lain.

3. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis tetapi dilandasi oleh sikap saling mempercayai, saling menghormati, saling mencintai dalam hidup rukun dan damai. Hanya dengan cara demikian maka keanekaragaman dapat dirangkai dalam persatuan kebangsaan.

4. Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu, dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non sektarian, inklusif, akomodatif, gotong royong dalam hidup rukun dan damai.

Prinsip pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika mengandung nilai antara lain : (1) toleransi, (2) inklusif, (3) damai dan keber-samaan, (4) setara. Nilai-nilai tersebut tidak menghendaki sifat yang tertutup atau eksklusif sehingga memungkinkan mengakomodasi keanekaragaman budaya bangsa dan menghadapi arus globalisasi. Sifat terbuka yang terarah merupakan syarat bagi berkembangnya masyarakat modern. Sehingga keterbukaan dan berdiri sama tinggi serta duduk sama rendah, memungkinkan terbentuknya masyarakat yang pluralistik secara ko-eksistensi, saling hormat menghormati, tidak merasa dirinya yang paling benar dan tidak memaksakan kehendak yang menjadi keyakinannya kepada pihak lain. Dalam kehidupan bernegara segala peraturan perundang-undangan khususnya peraturan daerah harus mampu mengakomodasi masyarakat yang pluralistik dan multikutural, dengan tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Suatu peraturan perundang-undangan, utamanya peraturan daerah yang memberi peluang terjadinya perpecahan bangsa, atau yang semata-mata untuk mengakomodasi kepentingan suku bangsa, atau agama tertentu harus dihindari. Suatu contoh persyaratan untuk jabatan daerah harus dari putra daerah, menggambarkan sempitnya kesadaran nasional yang semata-mata untuk memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan mengundang terjadinya perpecahan. Hal ini tidak mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan menerapkan nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud masyarakat yang damai, aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.

E. Implementasi Bhineka Tunggal Ika
Setelah kita fahami konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika ini diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
1. Perilaku inklusif.
Di depan telah dikemukakan bahwa salah satu prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika adalah sikap inklusif. Dalam kehidupan bersama yang menerapkan sem-boyan Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa seseorang baik sebagai individu atau kelompok masyarakat merasa dirinya merupakan bagian dari kesatuan masyarakat yang lebih luas. Betapapun besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama tetapi tidak memandang rendah dan menyepelekan kelom-pok yang lain, masing-masing memiliki peran yang bermakna dan tidak dapat diabaikan dalam kehidupan bersama.
2. Mengakomodasi sifat pluralistik
Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh masya-rakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang terpisah-pisah. Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, akan dapat dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan sepatutnya. Suatu contoh sebelum terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang disebut pela gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri pada agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama dalam wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama hidup sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual keagamaan. Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut, dan sebagainya. Sayangnya dengan proses reformasi yang mengusung kebebasan, pola kehidupan masyarakat yang demikian ideal ini nampak menjadi lemah.
3. Tidak mencari menangnya sendiri
Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai keaneka-ragaman. Untuk itu perlu dikem-bangkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan “musyawarah untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepakatan bersama. Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah.
5. Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban
Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling mencurigai harus dibuang, saling mempercayai harus dikembangkan. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan Bhinneka Tunggal Ika diterapkan dengan ungkapan: “leladi sesame-ning dumadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe.” Artinya eksistensi kita di dunia adalah untuk memberikan pelayanan kepada sesama, bekerja keras tanpa kepentingan pribadi atau golongan.
Bila setiap warganegara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika dan mau meng-implementasikan secara tepat dan benar, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia akan tetap utuh, kokoh dan bersatu selamanya

F. Faktor-faktor yang mempengaruhi

Bangsa Indonesia kini hidup dalam zaman globalisasi yang mencanangkan perdagangan bebas antar negara, bahkan diembus-embuskan negara tanpa batas. Perdagangan dapat keluar dan masuk ke mana saja sesuai dengan cita-cita penganjur perdagangan bebas yaitu negara-negara dengan falsafah kapitalistik. Dalam hubungan ini bangsa Indonesia telah merasakan kekejaman dari negara yang menganut faham kapitalisme. Globalisasi harus dipandang dan disikapi penuh kewaspadaan agar supaya bangsa Indonesia tidak terpecah hanya karena terpengaruh kepentingan materi dan mengenyampingkan nilai-nilai spiritual bangsa Indonesia.

Di bidang politik globalisasi menganjurkan pelaksanaan hak-hak asasi manusia (HAM) yang dilaksanakan kebablasan (melampaui batas) sehingga tidak menimbulkan rasa hormat kepada hak-hak asasi manusia tanpa mengingat budaya bangsa tetapi justru HAM dilaksanakan sebagai hak menurut tafsirannya sendiri. Multipartai politik dianjurkan sebagai perwujudan demokrasi yang dalam prakteknya tidak membentuk suatu sistem politik untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk kepentingan individu atau golongannya sendiri.

Akibatnya mereka menjadi elite politik yang terpisah dari kehidupan masyarakat dan tidak berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Demokrasi dianggap berhasil asal secara prosedural sudah dipenuhi. Demokrasi dianggap berjalan sukses apabila pimpinan negara dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Demokrasi prosedural tidak peduli atas kesejahteraan rakyat. Demokrasi seperti itu berlawanan dengan demokrasi Indonesia seperti yang tertera dalam sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Musyawarah mufakat dinaungi oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan mulai ditinggalkan.

Dengan teknologi yang semakin canggih penetrasi kebudayaan asing seakan-akan tidak terbendung, namun kalau rasa kebangsaan Indonesia, semangat patriotisme, semangat kepribadian bangsa tetap kuat, maka pengaruh budaya asing tersebut dapat disaring mana yang merugikan dan mana yang menguntungkan bagi peningkatan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pe-ngaruh-pengaruh seperti inilah yang harus diwaspadai dan ditangkal melalui persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh/kuat.

Di samping kekuatan dan ancaman globalisasi maka setiap peluang yang ada harus ditangkap dan dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk kesejahteraan bangsa. Ancaman dan gangguan dari segi ekonomi telah mulai terasa dengan memberi kesempatan beroperasinya pasar bebas (free market) yang menghendaki peranan negara sesedikit mungkin, yang tidak akan pernah cocok dengan semangat sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam mekanisme ekonomi pasar terjadi persaingan yang saling mematikan sehingga yang tidak mampu bersaing akan terlempar dari pasar, sedangkan bagi ekonomi Pancasila persaingan harus saling menghidupi, apabila mekanisme pasar di biarkan tumbuh mengatur perekonomian bangsa Indonesia. Usaha kecil dan besar tetap hidup guna memenuhi kebutuhan masyarakat, yang kuat justru mengayomi dan menghidupi yang lemah. Oleh karena itu dalam kehidupan bangsa Indonesia tidak dikehendaki adanya monopoli, oligopoly, kartel, dan trust. Inilah faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Pancasila sebagai pemersatu bangsa.

Pancasila sebagai pemersatu bangsa harus tetap dilaksanakan di segala aspek kehidupan bangsa terus menerus agar supaya dapat membentengi bangsa Indonesia dari berbagai pengaruh globalisasi.

G. Kesimpulan
Para founding fathers dengan arif bijaksana mengakomodasi kemajemukan bangsa dengan suatu rumusan yang tertera dalam Penjelasan UUD 1945 sebagai berikut:
Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya.
Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mem-perkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Rumusan yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945 adalah sebagai prinsip dalam mengakomodasi keanekaragaman budaya bangsa dan dalam mengantisipasi timbulnya perpecahan bangsa dan mengantisipasi globalisasi yang mengusung nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Semoga dengan berpegang teguh pada konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia makin kokoh dan makin berkibar sepanjang masa.

BAB VII

PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT

A. Makna Pancasila sebagai Filsafat

ntuk memahami Pancasila sebagai suatu “Filsafat”, harus dipahami terlebih dahulu garis besar makna filsafat dalam kehidupan manusia termasuk dalam kehidupan ber-bangsa dan bernegara. Sedangkan dalam hal “Pancasila dimaknai sebagai suatu Filsafat”, dimaksud-kan bahwa Pancasila dipahami dari suatu hasil pe-renungan yang mendalam mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara dan merupakan sistem pemikiran tersendiri atau sebagai suatu sistem filsafat.

1. Makna Filsafat

Ditinjau dari segi asal katanya atau etimologinya, kata filsafat berasal dari kata bahasa Arab dan Persia falsafah atau dari kata bahasa Inggris philosophy, yang diturunkan dari kata bahasa Yunani philosophia. Philosophia terdiri dari kata philien yang berarti “mencintai” dan kata sophos yang berarti “kebijaksanaan”; atau philia yang berarti “cinta” dan sophia yang berarti “kearifan” atau “pandai”. Philien sophos yang kemudian menjadi kata filsafat dalam bahasa Indonesia, dapat dimaknai sebagai suatu “usaha untuk mencari keutamaan mental atau akal budi, kehendak dan perasaan”, lalu dalam perkem-bangannya menjadi philia sophia yang bermakna cinta kearifan atau cinta keutamaan dan kebenaran.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Kedua, 1995, kata “filsafat” diartikan sebagai “pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, akal dan hukumnya”; atau “teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan”; atau “ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi”; atau “falsafah”.

Sementara itu dalam KBBI juga, kata “falsafah” diartikan sebagai “anggapan, gagasan dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki orang atau masyarakat” atau “pandangan hidup”; sedangkan kata “berfalsafah” diartikan sebagai “memikirkan dalam-dalam (tentang sesuatu)” atau “mengung-kapkan pemikiran-pemikiran yang dalam yang dijadikan pandangan hidup”.
Selanjutnya untuk lebih memahami masalahnya, kata “filsafat” dapat dikatakan sebagai suatu studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis yang dijelaskan secara mendasar dalam konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai yang esensial.

Filsafat tidak didalami dengan melakukan berbagai macam eksperimen dan percobaan, tetapi dilakukan dengan mengutarakan masalahnya secara jelas dan tepat, melalui cara dialogik-dialektik-eklektik dalam mencari jawaban atau solusi tentang sesuatu, dan memberikan argumentasi serta alasan yang tepat. Akhir dari setiap proses tersebut dimasukkan ke dalam sebuah proses berikutnya dengan selalu berusaha untuk terus menerus mendalami permasalahannya secara logis dengan menggunakan logika.

Hal itu membuat filsafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi tertentu berciri eksak di sisi lainnya tetap secara khas filsafati, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran, ketertarikan dan kuriositas serta selalu mempertanyakan. Selanjutnya filsafat juga bisa diartikan sebagai perjalanan pemikiran menuju sesuatu makna tentang sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain, dengan sikap skeptis yang selalu meragukan, mempertanyakan dan mempersoalkan segala macam fenomena yang ada.

Ditinjau dari segi terminologinya, makna filsafat dapat dikelompokkan menjadi (1) Filsafat sebagai produk; dan (2) Filsafat sebagai proses.

Filsafat sebagai produk merupakan jenis pengetahuan, ilmu, konsep pemikiran dari hasil usaha perenungan dan pemikiran para filsuf, ahli filsafat atau orang yang berfilsafat. Sedangkan filsafat sebagai produk biasanya disebut sebagai suatu aliran filsafat atau sistem filsafat tertentu, misalnya Idealisme, Materialisme, Liberalisme, Individualisme, Sosialisme, Komunisme, Panca-sila, dan lain sebagainya. Termasuk dalam kelompok ini adalah problema yang dihadapi manusia sebagai hasil usaha para pemikir terdahulu dalam mencari kebenaran dengan lebih banyak menggunakan akal penalaran yang logis.

Filsafat sebagai suatu proses adalah proses kegiatan manusia dalam usahanya mencari pemecahan masalah hidup dengan menggunakan metode dan cara tertentu sesuai dengan permasalahannya. Dalam hal ini filsafat meru-pakan suatu sistem ilmu pengetahuan, yang harus dibangun terus menerus secara mentradisi.

Dalam tradisi membangun filsafat biasanya berkembang sesuai dengan latar belakang buda-ya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karenanya orang lalu mengadakan klasifikasi filsafat didasarkan tempat tradisi filsafat tersebut dibangun. Maka dikenal adanya Filsafat Barat, Filsafat Timur, Filsafat Timur Tengah, Filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Budha, Filsafat Hindu, Filasafat Islam, Filsafat Kristen dan lain sebagainya. Dengan demikian, kiranya Pancasila dapat dikatakan sebagai Filsafat Indonesia, karena digali, dibangun dan dikembangkan dalam tradisi Indonesia, diawali sejak pemikiran persiapan kemerdekaan bangsa hingga saat ini.

Khusus mengenai membangun tradisi kefilsafatan Indonesia, Pancasila, dewasa ini dapat dikatakan masih tersebar di beberapa perguruan tinggi dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang masing-masing belum menyatu dalam suatu dialog menuju soliditas tradisi filsafati. Dapat dikemukakan di sini sebagai suatu misal antara lain adalah Laboratorium Pancasila di Universitas Negeri Malang, Pusat Studi Pancasila Universitas Gajah Mada di Yogyakarta. Di samping itu tentunya di Perguruan-perguruan tinggi yang memberikan pembelajaran filsafat seperti antara lain Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta dan tentunya Universitas/Perguruan Tinggi/Pendidikan Tinggi keagamaan yang berada di seluruh Indonesia. Sedangkan usaha konsolidasi di antara mereka nampaknya sementara ini dipelopori oleh beberapa perguruan tinggi untuk mengadakan Kongres Pancasila.

2. Makna Filsafat Pancasila

Dapatkah Pancasila dibangun dan berkembang sebagai suatu Tradisi Filsafat Indonesia, sementara dewasa ini menyebut Pancasila saja orang enggan, utamanya dalam orasi atau pidato para pimpinan pemerintahan dan negara termasuk para politisinya.

Berdasarkan kenyataan sejarah bangsa Indonesia, Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers bangsa Indonesia, yang dituangkan dalam suatu sistem pemikiran, yang diusulkan dalam sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 untuk dijadikan dasar negara yang akan didirikan. Sebagai hasil proses perenungan yang dalam dan panjang, kiranya Pancasila jelas dapat dikualifikasikan sebagai suatu filsafat yang dikembangkan oleh bangsa Indonesia sendiri dalam membangun diri, bangsa dan negaranya.

Dalam membangun Pancasila sebagai Filsafat, Pancasila jelas merupakan filsafat dalam arti produk. Selanjutnya perlu dipahami bahwa sebagai filsafat, hasil perenungan atau hasil berfilsafat, maka Pancasila dapat dimasukkan dalam kategori genetivus subyektivus. Dalam hal ini, Pancasila bermakna sebagai subyek yang memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana orang sebaiknya harus bersikap, berbuat dan bertindak dalam berbagai aspek kehidupan. Di sini Pancasila berfungsi sebagai subyek yang memberikan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang secara definitif sudah ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 saat disahkannya UUD 1945. Oleh karenanya bagi bangsa Indonesia, Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup, ideologi bangsa, dikatakan sebagai produk yang sudah final, dalam arti tidak dapat diubah.

Di lain pihak, Pancasila sebagai suatu fenomena kehidupan, oleh para pemikir filsafat, kiranya dapat juga ditempatkan dalam kategori genitivus obyektivus. Dalam hal ini, Pancasila dijadikan obyek yang dibahas, dikaji, ditelaah, diteliti dan digali untuk dicari hakikat kebenarannya yang terdalam. Pada sisi ini di satu pihak dapat menghasilkan penguatan kebenarannya, namun di sisi lain dapat pula melemahkannya. Kesemuanya itu sangat ditentukan oleh faktor yang berada di luar Pancasila itu sendiri, yaitu faktor pemikirnya, dan khususnya faktor tekad, komitmen dan semangat pendukungnya dalam memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menempatkan Pancasila dalam kategori genetivus obyektivus ini sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan, karena Pancasila dalam perkembangannya dinyatakan juga sebagai ideologi terbuka.

Dalam perkembangan membangun Tradisi Filsafat Pancasila, dikatakan bahwa Pancasila merupakan suatu Sistem Filsafat, dalam arti Pancasila ditinjau dari segi kesisteman, merupakan satu sistem, yang secara nalar dapat dibenarkan dan diterima.

Dari segi kesisteman, sesuatu dikatakan sebagai suatu ”sistem” apabila, ”sesuatu” itu merupakan suatu kesatuan dari bagian-bagiannya, atau apabila bagian-bagian dari ”sesuatu” tersebut merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Setiap bagian mempunyai fungsi masing-masing secara tersendiri yang saling mendukung, saling bergantung dan saling berhubungan satu terhadap yang lain untuk mencapai tujuan bersama atau tujuan dari ”sistem” tersebut. Apabila Pancasila dapat memenuhi ketentuan tersebut, tentunya Pancasila dapat dikatakan sebagai suatu sistem (filsafat).

Berdasarkan tinjauan dari segi kesisteman, dapat dikatakan bahwa Pancasila terdiri atas lima sila, yang masing-masing silanya sebagai bagian yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain secara bulat dan utuh. Pada hakikatnya setiap sila merupakan suatu prinsip, asas dan mempunyai fungsi masing-masing, yang secara keseluruhan mewujudkan suatu kesatuan yang sistematis tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Susunan kesatuan sila-sila dari Pancasila tersebut bersifat organis, hierarkhis berbentuk piramidal yang solid, yang masing-masing silanya mengandung pemahaman makna dari setiap sila lainnya, yang masing-masing saling mengisi dan saling menguatkan dalam mengaktualisasikan dirinya secara kuat terintegrasi. Dengan demikian Pancasila sebagai dasar negara dapat dikatakan juga sebagai suatu sistem filsafat yang merupakan dasar filsafat negara dan peradaban bangsa.

Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya mengandung suatu konsep, prinsip dan nilai, yang dijadikan sumber dari segala sumber hukum.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sila-sila dari Pancasila pada hakikatnya bukan saja merupakan kesatuan yang bersifat formal logis, namun sekaligus juga merupakan kesatuan dasar ontologis, dasar epis-temologis, dan dasar aksiologis.
Setelah memahami Pancasila sebagai Filsafat, kiranya kini Pancasila perlu dikaji untuk mengung-kapkan, memahami dan meyakini kebenaran Filsafat Pancasila dari segi penelaahan dasar filsafat. Penelaahan dasar filsafat dimaksudkan di sini adalah menelaah Pancasila dari segi filsafat ontologi, epistemologi dan dari segi aksiologi.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai bagian dari ilmu metafisika yang mendalami masalah esensi segala sesuatu atau kehidupan. Concise Oxford Dictionary (COD) mwemberikan makna ontologi: department of metaphysics concerned with things or beings. Jelasnya ontologi mempelajari kenyataan yang ada secara kritis membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Dalam membahas Filsafat Pancasila secara ontologis, ternyata dari kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1945, yang dapat dikatakan sebagai awal keberadaannya, Pancasila merupakan wujud manifestasi usaha perjuangan manusia Indonesia untuk mengem-balikan kemanusiaannya, kehidupan-nya dan kebebasannya sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Dari kelahirannya dapat dipahami bahwa keberadaan Pancasila berpusat pada manusia. Dari konsep dan prinsip yang terkandung di dalam Pancasila, jelaslah bahwa manusia yang menjadi pusat keberadaanya itu mengaku dirinya dengan segala kodrat, harkatnya dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. yang berusaha mengembangkan kehidupan dan kemanusiaannya secara adil dan beradab, dalam suasana persatuan bangsanya secara rukun bergotongroyong mewujudkan kesejahteraan secara adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya dalam menelaah Pancasila dari segi epistemologi, dapat dikatakan bahwa epistemologi secara mudahnya dapat dipahami sebagai teori tentang metode atau dasar dari pengetahuan. Menurut COD epistemologi diberi makna theory of the method or grounds of knowledge. Jelasnya epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki sumber, proses, syarat terjadinya, serta makna dan nilai ilmu pengetahuan. Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem pengetahuan, yang dapat dijadikan pedoman bangsa Indonesia untuk memahami realitas alam semesta, masyarakat, bangsa dan negaranya guna mendapatkan makna hidup dan kehidupannya. Di samping itu, Pancasila juga dapat dijadikan pegangan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupannya. Dengan demikian Pancasila dapat dikatakan menjadi sistem cita-cita dan keyakinan, sehingga sekaligus menjadi ideologi yang mengandung logos, pathos, dan ethos.
Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan dikatakan mengandung logos, sebab dalam wujud dirinya merupakan logos (bahasa Yunani) yang bermakna sebagai kata, wacana, ucapan, diskursus, yang sebagai pengetahuan mempunyai dasar alasan dan penalaran yang logis serta dapat diterima.
Di samping mengandung logos, Pancasila dikatakan juga mengandung pathos (bahasa Yunani) yang bermakna sebagai perasaan, emosi, pengalaman yang menyentuh hati atau menyedihkan (bahasa Jawa trenyuh). Memang Pancasila saat dilahirkannya diucapkan dengan penuh perasaan dan kegairahan yang dalam oleh penggalinya, karena sebenarnyalah Pancasila merupakan soliditas perasaan, pemikiran dan kehendak hati yang terdalam dari penggalinya untuk membawa bangsanya terlepas bebas dari penjajahan, kebodohan, ketertinggalan dan kemiskinan. Bukan saja saat dilahirkan me-ngandung pathos dalam diri yang mengucapkan, tetapi juga menimbulkan pathos bagi pendengarnya, sehingga saat itu, saat diucapkan untuk ditawarkan sebagai dasar negara, mendapat sambutan tepuk tangan yang sangat menggairahkan dan serta merta diterima sebagai suatu solusi dari permasalahan yang ada saat itu. Penggalinya benar-benar mampu dan kompeten memanfaatkan pathos, dalam arti teknik komunikasi dalam retorika, berhasil mengung-kapkan pathos dirinya dan menggugah pen-dengarnya.
Selanjutnya Pancasila sebagai suatu pengetahuan dikatakan mengandung ethos (bahasa Yunani) yang semula bermakna sebagai habitat kuda, kebiasaan, adat-istiadat, dan moral, yang dalam perkembangan kemudian maknanya mengacu pada semangat yang memotivasi ide-ide dan adat-istiadat. Ethos umum masyarakat menguasai dan menentukan perilaku para politisinya. The general ethos of the people they have to govern determines the behavior of politicians (T.S Eliot dalam The idea of a Christian society‎,1940). Bukankah Pancasila sejak diucapkan dan dilahirkan telah menunjukkan ethosnya yang terkandung di dalamnya dan mampu memicu dan memacu semangat para founding fathers untuk mendirikan negara berdasarkan Pancasila dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara yang telah diproklamasikan.
Penelaahan Pancasila dari segi aksiologi, yang bermakna menelaah Pancasila dari segi teori nilai (bahasa Yunani; Axion berarti nilai dan logos berarti ilmu atau teori). Dapat dikatakan bahwa terhadap Pancasila dipertanyakan tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan konsep asli Indonesia, yang diturunkan dari konsep ketuhanan secara universal, dijadikan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam sila ini pemahamannya bukan agama yang dijadikan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dirumuskan dalam konteks membangun kehi-dupan negara bangsa Indonesia yang berarti membangun kehidupan politik, karena suatu negara bangsa adalah makhluk politik, makhluk dalam ranah politik. Oleh karena itu Sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa sebenarnyalah merupakan suatu prinsip politik, bukan suatu prinsip teologis. Dengan demikian implikasi dari Sila tersebut ialah bahwa negara bangsa Indonesia mengakui dan melindungi kemajemukan agama di Indonesia; Negara tidak menilai “isi” dari suatu agama. Penganut agama apa pun wajib bersatu untuk membangun negara bangsa. Hal ini sangat jelas dari ajakan Ir. Soekarno dalam pidato “Lahirnya Pancasila”. Dalam Ketuhanan Yang Maha Esa dimungkinkan secara kondusif setiap umat beragama bebas memeluk agamanya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam sila ini terkandung konsep religiositas. Kata religiositas diturunkan dari bahasa Latin antara lain mengandung arti relasi. Relasi yang dimaksud dalam sila ini adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan sesamanya, antara manusia dengan alam, dan antara manusia dengan dirinya sendiri. Relasi tersebut harus dijiwai dengan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam suasana kehidupan yang bersatu saling menerima dan dialog dengan sesamanya dalam rangka mencapai kesejahteraan bersama secara berkeadilan.
Dengan jelas dan tegas Bung Karno menjelaskan prinsip ketuhanan sebagai berikut :
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Mohamad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan.”
Selanjutnya galilah nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila lainnya, yang sebenarnya nilai-nilai tersebut semuanya menyatu menjiwai bangsa Indonesia mengembangkan dirinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian kiranya perlulah juga ditinjau fungsi dan peran Pancasila sebagai Filsafat Indonesia.
B. Fungsi dan Peran Pancasila sebagai Filsafat

1. Fungsi dan Peran Filsafat dalam Kehidu-pan

Fungsi dan peran filsafat dalam kehidupan manusia bisa dirunut dari asal filsafat itu sendiri. Filsafat lahir dalam kehidupan karena manusia dalam kehidupannya penuh keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatasannya dalam memahami keberadaan segala sesuatu yang ada. Dalam usaha manusia untuk mencari jawaban terhadap hal-hal tersebut nampaknya dengan (ilmu) pengetahuan yang dimiliki manusia sejak dahulu sampai kapan pun tidak pernah akan dapat memperoleh jawaban yang memuaskan, maka manusia selalu berusaha mencari kebenaran dari adanya segala sesuatu. Dalam berusaha mencari kebenaran tersebut maka manusia berfilsafat, selalu mempertanyakan atau mencari jawaban atas keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatasannya yang ada pada dirinya. Setiap saat mendapat jawaban atas berbagai hal yang dipertanyakan, saat itulah manusia dikatakan mampu mendobrak keluar dari persoalan yang dipertanyakan. Manusia yang berkepanjangan terlena dalam kehidupan alam mistik yang penuh hal-hal serba rahasia didobrak manusia yang berfilsafat dengan usaha pemikiran yang mempertanyakan segala yang ada dengan cara yang penuh rasional. Sekaligus dalam keadaan tersebut manusia terbebas dari kehidupan yang mistis, tradisional dan kebodohan. Dengan berfilsafat manusia membebaskan diri dari cara berpikir yang mistik, mitis (bersifat mitos) dan membimbing manusia untuk berpikir secara rasional dan mencintai kebijaksanaan. Membebaskan manusia dari cara berpikir yang picik dan dangkal serta membimbing untuk berpikir lebih luas dan mendalam.
Secara singkat dan dalam garis besarnya dapat kiranya dipahami bahwa filsafat dalam kehidupan manusia berfungsi sebagai berfikir yang mendalam untuk mencari kebenaran yang hakiki tentang segala sesuatu yang ada dan yang dihadapi manusia. Sedangkan perannya sebagai pendobrak, pembebas dari persoalan kehidupan yang dialami saat tertentu dan pembimbing untuk berpikir lebih luas dan mendalam yang penuh kebijaksanaan.
2. Fungsi dan Peran Filsafat Pancasila

Untuk memahami fungsi dan peran Pancasila sebagai filsafat, perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa setiap menyebutkan Pancasila, maka yang dimaksudkan adalah Pancasila sebagai filsafat, kecuali diberikan penjelasan lain. Sedangkan fungsi dan peran yang secara teoritik timbul setelah diketahui adanya status, maka dapat dibayangkan dalam memahami fungsi dan peran Pancasila selalu mengacu pada bidang dan atau situasi tertentu, tempat atau kedudukan status Pancasila diwacanakan atau didis-kursuskan.
Sebelum Pancasila diwacanakan dalam rapat-rapat di BPUPKI pada 29 Mei – 1 Juni 1945, secara hipotetik kesejarahan, diyakini butir-butir yang menjadi faktor pembentuk Pancasila telah berkembang meluas di berbagai suku bangsa di seluruh pelosok nusantara. Faktor pembentuk Pancasila tersebut dikenal sebagai kebiasaan, adat-istiadat dan hukum adat suku bangsa setempat, yang dijadikan pegangan hidup masyarakatnya masing-masing. Kebiasaan, adat-istiadat dan hukum adat suku bangsa atau masyarakat setempat tersebut dihayati, diamalkan dan dijaga penegakannya secara konsisten, yang akhirnya tanpa disadari secara formal solid membulat menjadi pandangan hidupnya atau menjadi falsafah hidup masya-rakatnya.
C. Van Vollenhoven secara hipotetis mem-bagi lingkungan hukum adat Indonesia menjadi 19 lingkungan sebagai berikut: (1) Aceh; (2) Tanah Gayo, Alas, dan Batak; (3) Daerah Minangkabau; (4) Sumatera Selatan: (5) Daerah Melayu; (6) Bangka dan Belitung; (7) Kalimantan; (8) Minahasa; (9) Gorontalo; (10) Daerah/Tanah Toraja; (11) Sulawesi Selatan; (12) Kepulauan Ternate; (13) Maluku-Ambon; (14) Irian; (15) Kepulauan Timor; (16) Bali dan Lombok; (17) Bagian Tengah Jawa dan Jawa Timur termasuk Madura; (18) Daerah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta; dan (19) Jawa Barat.
Menurut para ahli hukum adat, meskipun kebiasaan dan adat-istiadat hidup dalam berbagai lingkungan hukum adat, pada umumnya hukum adat Indonesia mempunyai kesamaan corak, yaitu bercorak: religius magis, komunal kemasyarakatan, demokrasi, kontan (dilaksanakan saat itu juga) dan konkrit. Pada umumnya hukum adat Indonesia meliputi Hukum Perorangan; Hukum Kekeluargaan; Hukum Perkawinan; Hukum Harta Perkawinan; Hukum Adat Waris; Hukum Hutang Piutang; Hukum Tanah; dan Hukum Perjanjian dan lain-lain.
Dari kebiasaan, adat-istiadat, hukum adat dan pandangan hidup masyarakat suku-bangsa yang tersebar di seluruh tanah air tersebut diangkatlah butir-butir yang mempunyai kesamaan watak untuk dijadikan faktor pembentuk pandangan hidup bangsa. Jelasnya hukum adat dan pandangan hidup yang mempunyai kesamaan watak dijadikan ”common denominator” dan faktor pembentuk pandangan hidup bangsa dalam makna falsafah bangsa yang kemudian ditetapkan dengan sebutan Pancasila.
Pancasila sebagai falsafah atau pandangan hidup yang oleh founding fathers ditetapkan menjadi dasar negara, fondasi berdirinya negara bangsa Indonesia yang dinamakan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diprokla-masikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Oleh penggalinya dijelaskan saat itu dengan penuh pathos (penuh perasaan) serta diliputi ethos (semangat) yang solid sebagai berikut: ”Philosofische grondslag dari pada Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran-yang-sedalam-dalam-nya, jiwa, hasrat-yang-sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”
Dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, jelaslah fungsi Pancasila sebagai dasar filosofi, sebagai fundamen, sebagai filsafat, sebagai pikiran yang sedalam-dalamnya, seba-gai jiwa dan sebagai hasrat dalam mendirikan Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.
Dari deskripsi secara singkat tersebut, kiranya dapat dipahami bahwa Pancasila sebagai Filsafat berfungsi sebagai pendobrak dari kehidupan tradisional yang terkekang secara nyata, baik fisik maupun non fisik, sebagai pembebas dari pemikiran dan kehidupan terjajah, dan sekaligus Pancasila menjadi pembimbing kehidupan manusia Indonesia. Dengan landasan pendekatan Filsafat Pancasila, selayaknya bangsa Indonesia harus selalu mempertanyakan dan memahami keberadaannya. Kehidupan yang dialaminya telah mampu mendobrak dan membebaskan diri dari persoalan bangsa dan negara atau tetap terkungkung oleh kekangan persoalan yang dihadapinya. Dengan Filsafat Pancasila, bangsa Indonesia harus mampu mengembangkan dirinya menuju kehidupan bernegara yang dipenuhi oleh kecerdasan kehidupan bangsa, sehingga tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam penjara kehidupan yang diliputi kebodohan dan kemiskinan.
C. Implementasi Pancasila sebagai Filsafat

Implementasi Pancasila sebagai Filsafat yang dimaksudkan di sini adalah menjadikan Filsafat Pancasila untuk mempertanyakan dan menjawab segala sesuatu masalah kehidupan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam kehidupan ber-Negara. Dewasa ini apakah jiwa dan semangat bangsa Indonesia masih sama seperti saat awal Negara Bangsa Indonesia didirikan. Saat itu Bangsa Indonesia dibimbing oleh Filasafat Pancasila untuk mendobrak dan membebaskan diri dari kehidupan keterjajahan, penderitaan dan kebodohan. Bangsa Indonesia saat itu dengan penuh pathos, logos dan etos mampu meyakinkan dunia mendirikan negara dan membangun bangsa. ”Nation and Character Building” merupakan logos yang jelas untuk dijadikan pedoman membangun karakter dan bangsa Indonesia. Amanat Penderitaan Rakyat dijadikan pathos untuk membangkitkan etos bangsa.
Dengan pemahaman bahwa ”bangsa” merupakan state of becoming bukan state of being, dapatkah Filsafat Pancasila menjawab segala persoalan kehidupan bangsa yang masih selalu dalam ”proses menjadi” ini. Dapatkah Pancasila merumuskan logos, pathos dan ethos bangsa Indonesia dewasa ini untuk membimbing menuju kecerdasan kehidupan bangsa. Siapakah yang harus merumuskan logos, pathos dan ethos bangsa dewasa ini. Dalam sejarah kehidupan bangsa, para elit dan pemuka bangsalah yang harus mau dan mampu memikirkan secara luas dan mendalam merumuskan logos, pathos dan ethos bangsa berdasarkan Filsafat Pancasila untuk dijadikan dasar segala tindakan menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara.
Dari uraian singkat padat tersebut nampaknya implementasi Filsafat Pancasila dapat diartikan sebagai penggunaan pemikiran yang luas dan mendalam tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan Filsafat Pancasila dimaksudkan guna mempertanyakan dan menjawab permasa-lahaan bangsa, baik secara umum maupun secara khusus untuk tiap-tiap bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Jelasnya dengan dasar Filsafat Pancasila, kita harus mampu merumuskan logos, pathos dan ethos dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Faktor-faktor yang mempengaruhi Filsafat Pancasila dapat dibedakan menjadi faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal yang mempengaruhi terbentuknya Filsafat Pancasila dapat disebutkan antara lain adalah (1) Karakter Bangsa, khususnya karakter para ”founding fathers”; (2) Budaya berbagai suku bangsa yang tersebar di kepulauan Nusantara; (3) Amanat Penderitaan Rakyat.

Faktor internal yang mempengaruhi implementasi Filsafat Pancasila dapat disebutkan antara lain adalah (1) Karakter Bangsa, khususnya karakter para elit bangsa; (2) Ideologi fundamentalisme, terorisme, separatisme, sektarianisme; (3) Pemahaman makna kehidupan berbangsa dan wawasan kebangsaan; (4) Kemiskinan, kebodohan, pendidikan, kedangkalan berpikir, kesehatan, dan kesempatan kerja.

Faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya Filasafat Pancasila dapat disebutkan antara lain (1) Filsafat liberalisme, sosialisme dan komunisme; (2) Kebangkitan bangsa-bangsa Asia; (3) Kemakmuran bangsa penjajah.

Faktor eksternal yang mempengaruhi implementasi Filsafat Pancasila dapat disebutkan antara lain adalah (1) Globalisasi dalam segala bidang kehidupan; (2) Ideologi transnasional, fundamen-talisme, radikalisme, terorisme; (3) Individualisme, liberalisme, neo liberalisme, kapitalisme, neo kapitalisme, egoisme, pragmatisme, hedonisme, budaya instan, teknologi komunikasi dan dunia maya.

Setelah memahami faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya Filsafat Pancasila dan implemen-tasinya, kiranya dapat dipikirkan secara mendalam dan meluas atau secara filsafati, dengan mempertanyakan dan menjawab persoalan-persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam era reformasi khususnya dan dalam proses globalisasi pada umumnya.

E. Kesimpulan
1. Filsafat sebagai suatu proses yaitu proses kegiatan manusia dalam usahanya mencari pemecahan masalah hidup dengan meng-gunakan metode dan cara tertentu sesuai dengan permasalahannya. Dalam hal ini filsafat merupakan suatu sistem ilmu pengetahuan, yang harus dibangun terus menerus secara mentradisi.
2. Filsafat dalam kehidupan manusia berfungsi untuk mencari kebenaran hakiki tentang segala sesuatu yang ada dan yang dihadapi manusia. Sedangkan perannya dapat disimpulkan sebagai pendobrak, pembebas dari persoalan kehidupan yang dialami dan pembimbing untuk berpikir lebih luas dan mendalam yang penuh kebijaksanaan.
3. Dengan berfilsafat manusia membebaskan diri dari cara berpikir yang mistik, mitis dan membimbing manusia untuk berpikir secara rasional efektif dan efisien serta mencintai kebijaksanaan. Membebaskan manusia dari cara berpikir yang picik dan dangkal dan membimbing untuk berpikir lebih luas dan mendalam.
4. Untuk memahami Pancasila sebagai suatu “Filsafat”, perlu dipahami makna filsafat dalam kehidupan manusia khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
5. Pancasila dapat dikatakan sebagai Filsafat Indonesia, karena digali, dibangun dan dikembangkan dalam tradisi Indonesia, diawali sejak pemikiran persiapan kemerdekaan bangsa hingga saat ini.
6. “Pancasila dimaknai sebagai suatu Filsafat”, dimaksudkan bahwa Pancasila dipahami sebagai hasil perenungan yang mendalam mengenai kehidupan bangsa dan negara dan merupakan sistem pemikiran tersendiri atau sebagai suatu Sistem Filsafat.
7. Filsafat Pancasila dapat dikatakan suatu Sistem Filsafat, dalam arti Pancasila ditinjau dari segi kesisteman, merupakan satu kesatuan sistem, yang secara nalar dapat dibenarkan dan diterima.
8. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya mengandung suatu konsep, prinsip dan nilai, yang dijadikan sumber dari segala penjabaran norma, baik norma hukum, norma moral, norma kebangsaan, norma kenegaraan dan norma lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
9. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sila-sila dari Pancasila pada hakikatnya bukan saja merupakan kesatuan yang bersifat formal logis, namun sekaligus juga merupakan kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis, dan dasar aksiologis.

BAB VIII

WAWASAN POKOK TIAP-TIAP SILA
DALAM PANCASILA

A. Pendahuluan

etelah memahami Makna Pancasila dan Pancasila sebagai : Dasar Negara; Ideologi; Pandangan Hidup; Pemersatu Bangsa; dan sebagai Falsafah dalam bab-bab sebelumnya, maka dalam bab ini akan diuraikan Wawasan Pokok tiap-tiap Sila dalam Pancasila. Uraian bab ini dimaksudkan agar pemahaman terhadap Pancasila makin mendalam, lengkap dan komprehensif. Dengan makin mendalam, lengkap dan koprehensif pemahaman terhadap Pancasila akan lebih mampu menghadapi berbagai paham dan pemahaman lain yang bertentangan dan bahkan mungkin merupakan predator terhadap Pancasila. Dengan mantapnya pemahaman dan keteguhan berpegang pada Pancasila, bukan berarti Pancasila menjadi ideologi tertutup, namun justru sebaliknya, menjadi ideologi yang terbuka, yang mampu menyerap unsur-unsur positif yang berkembang untuk dijadikan faktor penguat dan penangkal ideologi predator terhadap Pancasila dalam situasi yang terbuka dewasa ini. Untuk itu perlu pemahaman makna wawasan pokok terlebih dahulu.

Kata “Wawasan” berasal dari “Wawas” (bahasa Jawa) berarti melihat atau memandang. Dengan penambahan akhiran “an”, secara harfiah berarti penglihatan, tinjauan atau pandangan. Wawas atau mewawas diartikan pula meneliti, meninjau, memandang, mengamati atau refleksi. Wawasan adalah hasil mewawas atau memandang, yang berarti sebagai pandangan. Pandangan tersebut biasanya mengandung harapan, cita-cita, memuat makna yang akan diwujudkan dan arahan pada sikap dan perbuatan untuk mencapai cita-citanya, baik bersifat individual atau pun bersifat sosial atau bersama. Oleh A. Teeuw, dalam Kamus Indonesia – Belanda, wawasan diterjemahkan dengan kata “begrip, inzicht, concept, conceptie, idée”. Selanjutnya dalam Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, wawasan diartikan sebagai “pandangan atau paham tentang sesuatu, kemudian diberi arti ‘perangkat pikiran dasar’ suatu ajaran yang berguna sebagai petunjuk pelaksanaan ajaran tersebut. Maka wawasan diartikan juga sebagai doktrin asasi”.

Berdasarkan atas pemahaman tentang arti wawasan tersebut, maka wawasan pokok tiap-tiap sila dalam Pancasila dimaksudkan sebagai pandangan pokok, konsepsi dasar, perangkat pikiran dasar suatu ajaran yang dijadikan doktrin asasi dan petunjuk pelaksanaan dari tiap-tiap sila dalam Pancasila.
Pemahaman wawasan pokok masing-masing sila dalam Pancasila harus dipahami berdasarkan pada kenyataan sejarah dan intensi dasar dari para founding fathers dirumuskannya Pancasila sebagai ‘dasar negara’. Pancasila sebagai dasar Negara pada hakekatnya merupakan satu kesatuan bulat dan utuh yang masing-masing silanya saling menjiwai dan melingkupi sehingga merupakan satu kesatuan yang bersinergi. Selanjutnya perlu dipahami pula, bahwa Pancasila diterima menjadi dasar negara oleh para Bapak Bangsa Pendiri Negara, karena Pancasila mempertemukan pendapat tentang paham dasar negara yang betentangan, yaitu antara paham negara berdasar agama dan paham negara berdasar nasionalisme. Dengan demikian Pancasila merupakan kesepa-katan luhur, menjadi platform bersama atau menjadi ‘common denominator’, sehingga semua pendapat dapat terwadahi bersenergi membangun negara bangsa. Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi sumber hukum bagi setiap ketentuan, tindakan dan perbuatan penyelenggaraan negara. Oleh karena itu Pancasila juga menjadi arahan dan tuntunan dalam penyelenggaraan negara. Dalam hal ini Pancasila berfungsi sebagai ‘ideologi negara’. Sebagai ideologi, Pancasila dapat juga berfungsi sebagai ‘acuan kritik ideologi’ apa pun. Selanjutnya dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, atau dalam kiprah kehidupan politik berbangsa dan bernegara, Pancasila menjadi ‘etika politik’ bangsa Indonesia yang tidak boleh ditawar lagi.

Berdasarkan hakikat keberadaan Pancasila sebagaimana diuraikan secara padat tersebut di atas, maka pemahaman wawasan pokok tiap-tiap sila dalam Pancasila secara logis harus tetap mengacu pada pemahaman hakikat Pancasila yang bulat, utuh sebagai dasar negara, common denominator, ideologi negara, acuan kritik ideologi dan etika politik berbangsa dan bernegara. Wawasan pokok tiap-tiap sila dengan sendirinya menjadi cerminan dari hakikat Pancasila sebagaimana diuraikan di atas. Dalam kerangka berpikir seperti tersebut di ataslah wawasan pokok tiap-tiap sila dalam Pancasila seharusnya dipahami.

B. Wawasan Pokok tiap-tiap Sila :

1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila, perumusannya harus dipahami dalam konteks Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana dikehendaki para Bapak Bangsa dalam rangka membangun kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ merupakan prinsip politik bernegara. Sila pertama ini merupakan salah satu faktor pembentuk Pancasila yang inheren dalam empat sila lainnya dan sebaliknya. bukan suatu prinsip teologis, meskipun bernuansa teologis. Sebagai prinsip politik, Negara mengakui dan melindungi kemajemukan agama di Indonesia. Negara tidak akan menilai isi dan ajaran dari suatu agama apa pun. Penganut agama apa pun wajib bersatu untuk membangun bangsa dan Negara.
‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dikatakan bernuan-sa teologis, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebab dalam kaitannya kehidupan berketuhanan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa dapat dikatakan sebagai “common denominator” atau pijakan yang sama dari berbagai deno-minasi agama. Dalam Ketuhanan Yang Maha Esa ini, Bung Karno mengatakan:

Bukan saja bangsa Indone¬sia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indone¬sia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad S.A.W., orang Buddha men-jalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebu-dayaan, yakni dengan tiada “ego-isme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!

Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Is¬lam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkea-daban itu? lalah hormat-menghormati satu sama lain

Nabi Muhammad S.A.W telah memberi bukti yang cukup tentang verdraag- zaamheid, tentang menghormati agama-agama lain, Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini— sesuai dengan itu—menyatakan: bahwa prinsip kelima (baca: pertama) dari Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indo-nesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!

Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima (baca: pertama) inilah, Saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan ber-Tuhan pula!” (Bung Karno dalam Lahirnya Pancasila).

Aktualisasi Ketuhanan yang Maha Esa dijiwai oleh empat sila lainnya, dalam hal orang menganut suatu agama dan atau kepercayaan maka mereka saling menghormati sesuai harkat dan martabat manusia, tidak saling memaksakan agamanya, tetapi menjaga per-satuan dan kesatuan untuk terselenggaranya rasa kea-dilan demi kesejahteraan bersama.

Demikianlah wawasan pokok dari sila pertama. Wawasan lain terhadap sila pertama di luar wawasan pokok yang diuraikan tersebut dapat dikatakan tidak sesuai dengan Pancasila. Misalnya mewawas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila tidak dikaitkan dengan motif peru-musannya dalam rangka sebagai dasar Negara Republik Indonesia, namun dikaitkan hanya dengan salah satu agama atau kepercayaan, sehingga agama dan kepercayaan yang lain dinegasikan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian juga apabila memandang Ketuhanan Yang Maha Esa berdiri sendiri terlepas dari empat sila lainnya, dan bahkan Ketuhanan Yang Maha Esa dipandang sebagai agama dan dijadikan agama negara, itu sama sekali bukan sila Pancasila.

Sila pertama ini merupakan motif dasar setiap sikap, tingkah laku dan perbuatan orang seorang, lembaga masyarakat, dan lembaga Negara serta menjiwai pelak-sanaan empat sila lainnya dalam kehidupan berma-syarakat, berbangsa dan bernegara.

2. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab
Wawasan pokok Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab harus dipahami sebagaimana pemahaman terhadap sila pertama. Peru-musannya dalam rangka perumusan Pancasila dasar Negara; sebagai prinsip politik dalam arti kaitan dalam rangka mendirikan negara; merupakan salah satu faktor pembentuk Pancasila yang inheren dalam empat sila lainnya dan sebaliknya. Wawasan pokok sila Kemanusiaan yang adil dan beradab meman-dang negara memperlakukan setiap warga-negaranya atas dasar pengakuan dan penghormatan harkat dan martabat manusia dan nilai kemanusiaan yang tumbuh dari harkat dan martabatnya itu. Dengan demikian sila ini mempunyai wawasan menolak setiap bentuk kekerasan terhadap warganegara baik yang dilakukan oleh negara, kelompok atau individu. Dewasa ini tindak kekerasan yang sering terjadi dikaitkan dengan identitas, religius atau etnik. Kekerasan yang sering terjadi adalah kekerasan yang dilakukan terhadap inti harkat dan martabat manusia sendiri, yaitu kebebasannya. Namun perlu juga dipahami bahwa dalam Kemanusiaan yang adil dan beradab tidak ada tempat kebebasan yang tanpa batas. Kebebasannya selalu dilaksanakan secara beradab dan adil, senantiasa memperhitungkan kepentingan bersama, kepentingan bangsa dan negara. Dalam memperhitungkan kepentingan bersama, kepentingan bangsa dan negara dengan sendirinya tentu sudah mencakup kepentingan orang seorang.
Sila kedua ini merupakan batu dasar/penjuru setiap sikap, tingkah laku dan perbuatan orang seorang, lembaga masyarakat, dan lembaga negara serta menjiwai dan dijiwai pelaksanaan empat sila lainnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

3. Sila Persatuan Indonesia
Wawasan pokok sila Persatuan Indonesia me-ngandung faham kebangsaan. Dalam sila ini, Bangsa Indonesia dipandang bahwa, di satu pihak merupakan berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan hasil dari sejarah perjuangan para bapak bangsa, di lain pihak juga diyakini bukan merupakan hasil final, “state of being”, melainkan merupakan hasil yang berkelanjutan untuk selalu dijadikan lebih, “state of becoming”. Bangsa Indonesia di samping sudah ada, namun tetap harus diperjuangkan keberadaannya baik di masa kini maupun di masa mendatang. Keberadaan Bangsa Indonesia me-rupakan suatu tantangan perjuangan seluruh bangsa Indonesia. Paham ini didasarkan pula atas realitas bangsa Indonesia yang majemuk, terdiri dari berbagai golongan, suku bangsa, agama, budaya, bahasa, dan identitas lainnya.
Untuk dapat menjawab tantangan perjuangan tersebut, kesatuan dan persatuan bangsa sangat relevan untuk diutamakan. Keselamatan bangsa dan negara harus ditegakkan. Membela bangsa dan negara merupakan suatu kehormatan dan kewajiban bagi warga negara Indonesia. Oleh karena itu pengorbanan kepentingan pribadi demi kepentingan bersama diterima sepanjang dalam batasan nilai-nilai empat sila lainnya. Ucapan Presiden Kennedy beberapa tahun yang lalu sangat relevan untuk diingat, “Don’t ask what your country can do for you, but ask what you can do for your country.” Untuk itu perlu diusahakan agar dalam penyelenggaraan perjuangan membangun bangsa dan negara selalu mengikutsertakan seluruh komponen bangsa, sehingga tak seorang pun tertinggal dari proses pembangunan. Apabila setiap orang tidak tercecer dari pembangunan bangsa dan negara, dengan sendirinya diyakini bahwa rasa cinta tanah air, bangsa dan negara dari setiap warga negara Indonesia semakin mantap tumbuh dan berkembang. Kejayaan bangsa dan negara tetap terpelihara sepanjang masa.

Aktualisasi dari sila Persatuan Indonesia ini dijiwai dan menjiwai empat sila lainnya dalam Pancasila. Dalam perjuangan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa selalu dijiwai oleh semangat ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, disemangati oleh rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, penuh kesadaran kebersamaan dan jauh dari pemaksaan pendapat atau kehendak demi terwujudnya kesejahteraan bersama.

Sila ketiga ini merupakan kunci dasar/induk (master key) dari setiap sikap, tingkah laku dan perbuatan orang seorang, lembaga masyarakat, dan lembaga negara serta menjiwai dan dijiwai pelaksanaan empat sila lainnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Wawasan pokok sila ke-empat ini adalah terselenggaranya prinsip demokrasi yang dipilih bangsa Indonesia yang sesuai dengan budaya bangsa. Dalam prinsip ini tercermin adanya pengikut sertaan rakyat dalam pengambilan keputusan, pembatasan kekuasaan negara, keterwakilan pelaku politik dan warganegara. Setiap pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan oleh komponen negara, keterwakilan pelaku politik dipimpin oleh hikmat kebijakanaan dalam permusyawaratan. Hikmat kebijaksanaan di sini harus dipahami demi terselenggaranya empat sila lainnya dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hikmat kebijaksanaan tidak ada tempat untuk saling menyalahkan, untuk baku menang demi partai, kelompok atau golongannya. Setiap keputusan yang dida-sarkan atas permusyawaratan didasar-kan atas semangat kebersamaan demi tercapainya kesepakatan bagi kepentingan bersama, kepentingan bangsa dan negara. Inilah makna musyawarah untuk mencapai mufakat.
Sila ke-empat ini merupakan semangat dasar dari setiap sikap, tingkah laku dan perbuatan orang seorang, lembaga masyarakat, dan lembaga negara serta menjiwai dan dijiwai pelaksanaan empat sila lainnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

5. Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Wawasan pokok sila ini adalah terwujudnya kesejahteraan, pemerataan, persamaan, bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk kebebasan orang seorang untuk menentukan pilihan kesejahteraan bagi dirinya sendiri. Dalam sila ini wawasan terwujudnya pemerataan untuk memperoleh kesempatan dalam berbagai aspek kesejahteraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diutamakan. Terwujudnya pemerataan untuk memperoleh kesempatan tersebut didasarkan atas persamaan hak dan kewajiban di antara seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada tempat bagi pengisapan manusia atas manusia, (exploitation de l’homme par l’homme). Di samping pemerataan dan persamaan kesejahteraan tersebut, kebebasan untuk menentukan pilihan hidup sesuai dengan hati nuraninya oleh dirinya sendiri bagi setiap warganegara Indonesia dibuka seluas-luasnya. Semuanya demi tercapainya kesejahteraan bersama dan terpenuhinya rasa keadilan seluruh rakyat Indonesia.
Sila ke-lima ini merupakan arah utama dari setiap sikap, tingkah laku dan perbuatan orang seorang, lembaga masyarakat, dan lembaga negara serta menjiwai dan dijiwai pelaksanaan empat sila lainnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbang-sa dan bernegara.

C. Kesimpulan
Dengan uraian singkat tentang wawasan pokok tiap-tiap sila dalam Pancasila ini diharapkan pemahaman terhadap Pancasila makin dimantapkan. Selanjutnya renungkanlah setiap sikap, tingkah laku dan perbuatan masing-masing, baik sebagai individu, anggota masyarakat, orang seorang penyandang berbagai profesi, pegawai negeri, pengusaha, prajurit, pendeta, ustad dan sebagainya. diukur, dinilai, dipahami, dikritisi dengan menggunakan wawasan pokok tiap-tiap sila dalam Pancasila.

Dengan uraian singkat tentang wawasan pokok tiap-tiap sila dalam Pancasila ini diharapkan pemahaman kita terhadap Pancasila senantiasa dapat dimantapkan. Dari wawasan pokok tiap-tiap sila dalam Pancasila tersebut dapat diderivasi menjadi berbagai nilai atau pedoman dan petunjuk sikap tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dapat juga diderivasi menjadi berbagai nilai atau pedoman dan petunjuk sikap tingkah laku dan perbuatan individu, keluarga dan kelompok masyarakat, didasarkan pada profesi, denominasi atau lainnya.

Demikianlah secara singkat uraian tentang wawasan pokok tiap-tiap sila dalam Pancasila untuk dapat dijadikan bahan perenungan dan pengembangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

BAB IX
PENUTUP

enghadapi gelombang perubahan nasional, regional dan global maka bangsa Indonesia harus mengaktualisasikan konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila pada berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Oleh karena itu kajian untuk melestarikan dan mengembangkan Pancasila harus terus-menerus dilakukan agar bangsa Indonesia senantiasa yakin bahwa Pancasila adalah dasar negara, ideologi nasio-nal, pandangan hidup, filsafat bangsa dan pemersatu bangsa yang benar-benar cocok dan tepat bagi bangsa Indonesia.

Demikian pula upaya untuk memahami, mengimple-mentasikan dan mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah suatu keharusan atau suatu “cinditio sine quanon”, untuk membangun integrasi nasional dengan memperkokoh wawasan kebangsaan, persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sadar sedalam-dalamnya bahwa Pancasila tidak akan ada artinya jika nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak diaktualisasikan dalam segala aspek kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa dan berne-gara. Oleh karena itu :
– Nilai-nilai Pancasila harus dijelmakan dalam kegiatan penyelenggaraan kedaulatan dan kekua-saan negara, penyelenggaraan pemerintahan, penyelenggaraan kebebasan warganegara dan kemerdekaan mengemukakan pendapat dan seba-gainya.
– Nilai-nilai Pancasila sebagai etika, moral dan norma harus dijelmakan dalam kehidupan berpolitik dan berdemokrasi.
– Nilai-nilai Pancasila harus dijelmakan dalam penyelenggaraan hukum, kaidah hukum dan kea-dilan dan sebagainya.
– Nilai-nilai Pancasila harus dijelmakan dalam penyelenggaraan perekonomian, pemerataan kese-jahteraan rakyat, pemerataan kesempatan bekerja dan kesempatan berusaha dan sebagainya.
– Nilai-nilai Pancasila harus dijelmakan dalam penyelenggaraaan pendidikan, pemerataan mem-peroleh pendidikan dan sebagainya.

Sungguh-sungguh merasakan bahwa Pancasila adalah sumber kejiwaan masyarakat dan negara-bangsa Indonesia, karena itu hendaknya manusia Indonesia menjadikan implementasi dan aktualisasi Pancasila sebagai perjuangan utama dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang harus dilak-sanakan oleh setiap warganegara, setiap penyelenggara negara, aparat pemerintah, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan di Pusat dan Daerah, elit politik dan elit pengusaha, pemuka masyarakat dan pemuka agama serta insan pers yang diyakini mampu menjadi teladan dalam masyarakat dan bangsa. Selain itu juga sangat penting bagi generasi muda, karena ditangan merekalah ditentukan bentuk, warna dan corak masa depan bangsa Indonesia.

Dengan usaha dan perjuangan itu maka manusia dan bangsa Indonesia menjamin akan kelestarian, kelangsungan serta tetap kokohnya negara-bangsa yang merdeka, bersatu, berkedaulatan rakyat dan berkeadilan sosial, yang dengan penuh semangat membangun manusia dan masyarakat yang maju, sejahtera, adil dan makmur.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Sekneg RI., Risalah Sidang BPUPKI – PPKI, 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945..
2. Ong Kok Han dan Andi Achdian, Pancasila: dari Kontrak Sosial menjadi Ideologi Negara, diambil dari Restorasi Pancasila FISIP-UI Mei 2001.
3. Daniel Daki Dae, Pancasila dan Keadilan Sosial diambil dari Restorasi Pancasila FISIP-UI Th. 2006
4. Manuel Kuisepo, Pancasila dan Keadilan Sosial: Peran Negara, diambil dan Restorasi Pancasila FISIP – UI Th. 2006
5. Dr. Midian Sirait, Revitalisasi Pancasila, Kata Hasta, Pustaka 2008.
6. Padmo Wahyono, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Ketatanegaraan, BP-7 Pusat 1996.
7. LPPKB Pedoman Umum Implementasi Pancasila dalam kehidupan Bernegara terbitan LPPKB tahun 2005.
8. Sis Hendarwati Hadiwitarto, Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Faktor-faktor Kesejahteraan Rakyat di Indonesia tesis program Pasca Sarjana Magister Manajemen. STIE IPWIJA, 2005.
9. Yayasan Cipta Loka Caraka, Insiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi 5, tahun 1973.
10. Pancasila sebagai Ideologi dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, disunting oleh Oetojo Oesman – Alfian, diterbitkan oleh BP-7 Pusat tahun 1996.
11. Dr. Safaat Habib Pancasila sebagai ideologi.
12. Kepustakaan (Pendidikan Religiositas untuk SMP kelas 1, Penerbit Kanisius, 2006).
13. Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwodarminto, Balai Pustaka, Jakarta 1976)
14. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakartta, 1995)
15. Kamus Inggris Indonesia, John M. Echols dan Hassan Shadiuly, Cornell University Press Ithaca and London, P.T. Gramedia – Jakarta, 1987).
16. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa – Balai Pustaka Depdikbud, Cetakan Pertama 1988.
17. Prof. Dr. Soeryanto Poespowardoyo – Pancasila sebagai ideologi Penerbit BP-7 tahun 1996.
18. Buku Pegangan Kuliah bagi semua Fakultas di lingkungan UNS dengan judul “Pancasila dalam tinjauan Filsafat” – tahun 1990.
19. Risalah BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretariat Negara Republik Indonesia.
20. The New Book of Knowledge – Charles Robert Darwin.
21. Pancasila Dasar Negara – Editor H. Amin Aryoso, SH. 1 Juni 2000.
22. Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Buku 2 – Yayasan Cipta Loka Caraka.
23. Naskah Focus Crup Discussion – Ismail Arianto dan Sudarminto, Ditjen Kesbangpol Kemendagri.
24. Lahirnya Pancasila – Departemen Penerangan Republik Indonesia.
25. Tiga tantangan ideologis di masa depan: Konsistensi, Kotekstualisasi dan Aktualisasi – Drs. Moerdiono Sekneg R.I.
26. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP jilid 2 – Oleh Tim Abdi Guru Penerbit Erlangga tahun 2006.
27. J.C.T. Simorangkir, SH. – Drs. CST Kansil, SH. Drs. Rudy T. Erwin, SH. – “Aku Warganegara Indonesia” untuk SLTA – Penerbit Gunung Agung Jakarta Cetakan ke-5.

Pancasila
LEMBAGA PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEHIDUPAN BERNEGARA (LPPKB)

Gedung Granadi Lt. 5
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X-I Kav. 8-9 Jakarta 12950
Telp. (021) 252.2745 Ext. 1090. Fax (021) 252.4646

Tim Penyusun:
LPPKB

Pengripta:
Soeprapto, M.Ed

Cetakan I: Oktober 2011

Perpustakan Nasional: Katalok Dalam Terbitan (KTD)

LEMBAGA PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEHIDUPAN BERNEGARA (LPPKB)

Pancasila
Jakarta, Oktober 2011
ISBN:

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang
Tanpa ijin tertulis dari Penerbit, tidak diperbolehkan memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini.

DAFTAR ISI

Halaman
PENGANTAR …………………………………………………………………. 1
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………. 4
BAB II MAKNA PANCASILA ……………………………………….. 6
A. Pancasila Gagasan Dasar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara ……………………………………………..
B. Perumusan Pancasila ……………………………………
C. Hakikat Pancasila …………………………………………..
1. Konsep yang terdapat dalam Pancasila ……….
2. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam Pancasila
3. Nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila ……. 6
9
13
15
30
36
BAB III PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA ………….. 43
A. Makna Pancasila sebagai Dasar Negara ………….
B. Pancasila tepat sebagai Dasar Negara NKRI …….
C. Peran dan Fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara
D. Implementasi Pancasila sebagai Dasar Negara …
E. Implementasi Dasar Negara pada Otonomi Daerah
F. Faktor-faktor yang mempengaruhi …………………..
G. Kesimpulan ………………………………………………….
45
48
50
55
56
56
58
BAB IV PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI 60
A. Pengertian Ideologi ……………………………………….
B. Pancasila sebagai Ideologi Nasional Bangsa Indonesia …………………………………………
C. Pancasila Ideologi Terbuka …………………………….
D. Peran dan Fungsi Pancasila sebagai Ideologi Nasional Bangsa Indonesia …………………
E. Implementasi Pancasila sebagai Ideologi ………
F. Faktor yang mempengaruhi Implementasi Ideologi Pancasila …………………………………………
G. Kesimpulan …………………………………………………. 61

65 67

69 70

73 75

BAB V
PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP 76
A. Makna Pandangan Hidup ……………………………..
B. Etika Kehidupan Berbangsa ………………………….
C. Peran dan Fungsi Pancasila sebagai Pandangan Hidup …………………………………………………………
D. Implementasi Pancasila sebagai Pandangan Hidup
E. Faktor yang mempengaruhi Implementasi ………
F. Kesimpulan ………………………………………………… 76
82

89

92
100
102

BAB VI PANCASILA SEBAGAI PEMERSATU BANGSA ….. 105
A. Makna Pancasila sebagai Pemersatu Bangsa …..
B. Penemuan dan Landasan Hukum Bhinneka Tunggal Ika ………………………………………
C. Konsep Dasar Bhinneka Tunggal Ika ………………
D. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika ………………………………………………….
E. Implementasi Bhinneka Tunggal Ika ……………..
F. Faktor-faktor yang mempengaruhi ………………..
G. Kesimpulan …………………………………………………. 108
114
119
122
126
131
134

BAB VII PANCASILA SEBAGAI FALSAFAH 136
A. Makna Pancasila sebagai Filsafat …………………….
B. Fungsi dan Peran Pancasila sebagai Filsafat ……
C. Implementasi Pancasila sebagai Filsafat ………….
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi …………………..
E. Kesimpulan …………………………………………………. 136154161163
164

BAB VIII WAWASAN POKOK TIAP-TIAP SILA DALAM PANCASILA 167
A. Pendahuluan ……………………………………
B. Wawasan Kebangsaan atau Nasionalisme …
C. Kesimpulan ………………………………………. 167
172
185
BAB IX PENUTUP 187
DAFTAR KEPUSTAKAAN 191

TIM PENYUSUN MATERI PANCASILA

I. Penasehat/Narasumber:
1. Soeprapto, M.Ed.
2. Prof. Darji Darmodihardjo, SH.
3. Prof. Dr. D. Khumarga, SH.MH.

II. Tim Penyusun :
– Ketua : Drs. Pitoyo, MA.
– Sekretaris : Drs. Hamzah Latief
– Anggota-anggota :
1. Dra. Ine Regina Oesman
2. Hj. Sis Hendarwati, SE.MM.
3. dr. Hadiwitarto
4. Drs. B. Parmanto
5. Santoso Oetomo
6. Ny. Woerjanti Iman Soetopo, SH.
7. Dra. Roch Boediati Suroso, MM.
8. Darsih Soepawan
9. Su’udiyah Mansur, BA.

III. Tim Editor :
1. Kaslar, SH.
2. Drs. Pitoyo, MA.
3. M. Badroen, SH.
4. Drs. B. Parmanto
5. Drs. Hamzah Latief

IV. Rancang Grafis
1. Zamroni, SE
2. Maksum, SAg

esuai dengan penggagas awal, Ir Soekarno, Pancasila diusulkan sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sila-sila yang terkandung dalam Pancasila terumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta untuk mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Para founding fathers menghendaki Pancasila dijadikan dasar pengelolaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Pancasila secara sistematik disampaikan pertama kali oleh Ir. Soekarno di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Oleh Bung Karno dinyatakan bahwa Pancasila merupakan philosofische grondslag, suatu pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, merupakan landasan atau dasar bagi negara merdeka yang akan didirikan. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa Pancasila di samping berfungsi sebagai landasan bagi kokoh-tegaknya negara-bangsa, juga berfungsi sebagai bintang pemandu atau Leitstar, sebagai ideologi nasional, sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai perekat atau pemersatu bangsa dan sebagai wawasan pokok bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita nasional.

Explore posts in the same categories: Uncategorized

Leave a comment