Archive for October 2008

ruu pornografi

October 27, 2008


Selamat (akan/tidak) datang

Undang-undang Pornografi ?!

Dalam bulan suci Ramadhan yang baru lalu, atau setidak-tidaknya sampai sekarang ini, ada usaha untuk memaksakan pengesahan RUU Pornografi menjadi undang-undang. Dalam Harian Kompas 17 September 2008, budayawan-rohaniwan-filosof Franz Magnis-Suseno SJ, menengarai undang-undang tersebut sebagai Undang-undang yang Porno. Pendapat tersebut kiranya tidak perlu dipersoalkan, karena maksudnya tidak lain hanyalah mengingatkan kepada legislator dan kita semua untuk menempatkan masalahnya secara proporsional. Negara tidak seharusnya mengatur hal-hal yang menyangkut kehidupan privat dan moral warganegaranya. Sekiranya RUU tersebut tetap diundangkan, mungkin – sekali lagi mungkin — nantinya dapat dibentuk tenaga-tenaga reserse yang tugasnya mengintip masalah-masalah pribadi, “pornografi” dalam kehidupan privat, seperti persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau alat kelamin (istilah dalam Pasal 4 RUU Pornografi). Hampir seluruh pasal undang-undang tersebut multi tafsir. Tidak mampu memberikan definisi yang jelas dan tegas (clear cut defination) arti dan maksud dari masing-masing pasalnya, kecuali pasal mengenai sangsi dan hukuman. Kenyataan tersebut tentu akan selalu menimbulkan pro-kontra penafsiran yang ujung-ujungnya adalah konflik antar mereka yang bersangkutan. Apakah memang itu yang dikehendaki badan legislator kita, timbulnya perpecahan masyarakat dan bangsa, atau tumbuhnya diktator mayoritas dan totaliterisme? Tulisan ini sengaja tidak memasuki materi RUU, melainkan sekedar akan menelaah latar belakang pemikiran dan merekonstruksi penalaran timbulnya usaha penyusunan RUU Pornografi tersebut.

Latar belakang pemikiran

Tahun 1998 ditengarai sebagai timbulnya krisis keuangan, kemudian melebar menjadi krisis ekonomi dan meluas menjadi krisis multi dimensi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terjadilah pergantian pimpinan pemerintahan nasional yang kemudian mengadakan reformasi dalam berbagai bidang. Nampaknya dalam mengadakan reformasi menggunakan pendekatan komprehensif, salah satu di antaranya pendekatan constitutional reform dan institutional building.

Wujud praksis pendekatan tersebut secara cepat diadakan perubahan mendasar dalam bidang perundang-undangan. UUD 1945 yang belum pernah sepenuhnya kita laksanakan selama itu, dalam kurun waktu lebih kurang tiga tahun (1999-2002) sudah diamandemen empat kali. Suatu perubahan cepat yang tiada taranya di seluruh muka bumi ini. Mengapa diamandemen secepat itu terhadap hukum dasar negara kita. Kiranya jelas penalarannya adalah UUD 1945 menjadi kambing hitam sebab keterpurukan bangsa dan negara saat itu. Konstitusilah yang bertanggungjawab, bukan para penyelenggara negaranya. “Buruk muka cermin dibelah”! Selanjutnya dibentuklah berbagai badan/komisi, seperti Mahkamah Konstitusi, Dewan Pemerintahan Daerah, berbagai macam komisi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi Ombudsman, Komisi Kejaksaan, Komisi Pemilihan Umum, dan sebagainya. Semua langkah tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan di bidang legeslatif, yudikatif dan eksekutif.

Sepintas lalu pendekatan constitutinal reform dan instutional building tersebut wajar dan nalar. Namun ternyata selama ini perbaikan kehidupan masyarakat dan bangsa yang didambakan Rakyat banyak belum sepenuhnya terwujud. Keadaan nampaknya justeru berbicara lain, korupsi berkecamuk di kalangan para pejabat legeslatif, yudikatif dan eksekutif. Selama ini Rakyat telah menyaksikan adanya Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Duta Besar, Anggota DPR/D, Anggota Komisi, Polisi, Jaksa, Otoritas Moneter dan sebagainya yang terlibat dalam tindak korupsi. Lebih menyedihkan lagi Menteri yang bertanggungjawab di bidang kehidupan beragama pun juga terperosok di dalam tindak korupsi. Pada hal saat itu telah diberlakukan Ketetapan MPR-RI No.Vl/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, yang antara lain mengemukakan ketentuan bahwa dalam kehidupan berbangsa (wajib) “mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa”. Diyakini bahwa sebagai pejabat negara atau pejabat publik tentu telah memahami dan menghayati relevansi Ketetapan MPR tersebut dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Namun nampaknya Ketetapan MPR tersebut sama sekali diabaikan dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka. Sekiranya tidak diabaikan, tetapi dijadikan dasar moral dan acuan dasar penyelenggaraan kehidupan bernegara, diyakini tentu keadaan jauh lebih baik dan tidak perlu negara mengeluarkan beaya sosial, politik dan ekonomi yang sangat besar.

Pendekatan constitutional reform dan institutional building tersebut apabila tidak dibarengi dengan penalaran yang didasarkan pemikiran yang mendalam, akan terjebak pada sikap dasar banalism, asal jadi apa yang dimaui. Selayaknya pendekatan tersebut dibarengi dengan pemikiran yang mendalam atau introspeksi secara komprehensif, dalam arti mendalami permasalahannya, peraturan peruntang-undangannya yang ada, dan siapa sebenarnya yang harus bertanggungjawab terhadap keadaan yang akan diatur/diperbaiki. Demikian juga halnya dalam masalah RUU Pornografi, nampak jelas terjebak pada pendekatan banalism.

Penalaran Banal

Penalaran dasar Penggagas RUU Pornografi sepintas boleh dikatakan sangat mulia dan nalar. Konon didorong rasa keprihatinan maraknya berbagai macam “pornografi” yang dikatakan merusak moral anak/generasi muda, masyarakat dan bangsa, legislator terpanggil untuk memberantas dan mencegah bahaya “pornografi” melalui peraturan perundang-undangan. Dengan adanya undang-undang dimaksud, dengan sendirinya masyarakat akan terlindungi dari bahaya “pornografi”. Selanjutnya akan dapat dengan mudah “akhlak mulia” terbangun di kalangan anak-anak/generasi muda, masyarakat dan bangsa. Saking yakinnya atas penalaran yang banal tersebut sampai-sampai menghalalkan segala cara, misalnya pembahasan RUU yang tidak mengikuti mekanisme yang diatur dalam UU No.10 Tahun 2004, banyak voting yang dipaksakan dalam situasi yang tidak memenuhi kuorum, tanda tangan anggota Panja yang dipalsukan untuk memenuhi voting yang setuju pembahasan RUU diteruskan, anggota Panja yang tidak hadir dalam rapat dinyatakan sebagai suara yang setuju (Majalah Hidup No.40 Tahun ke-62, 5 Oktober 2008, halaman 39), sosialisasi yang sangat bias dengan sampel yang sama sekali tidak representatif. Pembahasan yang cenderung merupakan pemaksaan, diskusi yang seharusnya argumentatif akademik terjebak pada debat kusir yang asal berani bicara keras memaksa mengandalkan kekuatan. Nampaknya segala cara dihalalkan untuk mencapai tujuan. Banalism dalam penyusunan undang-undang seperti itu sebaiknya harus dihindarkan dalam republik ini, seharusnya setiap penyusunan peraturan perundang-undangan didasarkan pada pemikiran “salus populi suprima lex”, demi terwujudnya “res publica”. Mungkinkah akan membangun moral bangsa dengan cara yang tidak bermoral seperti itu, atau ada motif lain, misalnya akan merusak moral bangsa yang bhinneka tunggal ika dan Pancasila sebagai dasar negara ?! Mengapa RUU Pornografi dapat disusun, yang konon tidak termasuk Prolegnas 2008?!

Banalism dalam kalangan (sementara) anggota DPR yang terhormat dewasa ini, bukan hanya dalam hal penyusunan perundang-undangan saja, melainkan hampir dalam setiap kegiatan legeslatif dijadikan ladang pemupukan kekayaan pribadi, keluarga atau mungkin partainya, tanpa memikirkan akibatnya baik bagi dirinya sendiri, keluarganya, terlebih-lebih bagi kehidupan masyarakat dan bangsa. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain dipraksiskan dalam uji kelayakan terhadap calon pejabat publik tertentu, perjalanan studi banding ke luar negeri, perubahan tata ruang di daerah, pengaturan proyek-proyek tertentu, dan sebagainya.

Mencermati kehidupan masyarakat luas dewasa ini, banalism nampak telah menghinggapi juga berbagai bidang kehidupan masyarakat luas, tak terkecuali melanda sementara para pendukung profesi tertentu, bahkan termasuk penyandang predikat akademiknya yang mentereng. Suatu misal dapat diangkat di sini, dalam surat kabar Pelita, 22 September 2008 ada yang mengemukakan pendapatnya, “RUU tersebut merupakan bagian dari upaya anak bangsa mengamankan ideologi Pancasila. Jika ada yang tidak setuju RUU tersebut disahkan menjadi UU, maka itu adalah suatu ancaman terhadap ideologi Pancasila …” Bukankah itu suatu pendapat yang sangat banal, pendapat yang tidak didasarkan dialog yang argumentatif akademik, melainkan dialog yang sangat dangkal dan menjadikan dirinya sendiri yang paling benar. Sama sekali tidak memahami bahwa dalam Pancasila justeru mengedepankan semangat musyawarah dan mufakat, bukan semangat “menang-menangan” atau asal menang belaka. Jangan-jangan hanya akan menggunakan kata “Pancasila” sebagai alat pembunuh lawan bicara belaka, pada hal sama sekali tidak memahami makna Pancasila dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Perkenankanlah kini menyelisik penalaran usaha penyusunan RUU Pornografi dari penalaran yang gampang dan mudah dipahami masyarakat luas, yaitu penalaran yang didasarkan atas mawas diri atau introspeksi.

Penalaran dengan mawas diri

Permasalahan pornografi dewasa ini dikatakan merebak dalam masyarakat luas dan merupakan permasalahan yang multi dimensional, menyangkut berbagai segi kehidupan masyarakat luas. Penyelesaian permasalahannya dengan sendirinya harus menggunakan pendekatan multi dimensional juga. Bukan sekedar diselesaikan dengan peraturan perundang-undangan yang dimensinya justeru sangat sempit dan menyangkut ranah privat yang bukan ranah yang seharusnya diatur oleh undang-undang. Di samping itu, mengenai masalah pelanggaran atau kejahatan pornografi sudah banyak diatur dalam KUHP, Undang-undang Penyiaran dan peraturan perundangan lainnya. Persoalannya selama ini bukan masalah peraturan perundang-undangannya, melainkan masalah penegakan hukumnya yang tidak tegas, dan pejabat pelaksananya yang tidak jarang memainkan peraturannya demi kepentingan tertentu. Di sini kiranya yang perlu dibenahi bukan peraturannya, melainkan pejabat pelaksana hukum dan penegakannya.

Kini persoalan mengenai siapa yang bertanggungjawab atas maraknya “pornografi” dalam masyarakat luas yang dikatakan merusak anak-anak/generasi muda. Apabila berani mawas diri secara jujur, kiranya yang bertanggungjawab atas maraknya “pornografi” di dalam masyarakat tentunya para generasi tua dalam segala bidang profesi. Diawali dari para orang tua, guru, pejabat pemerintahan dalam semua tingkat dan bidang, pimpinan dari berbagai agama, tokoh masyarakat dan sebagainya. Umumnya mereka sibuk menghabiskan waktu untuk mencari uang. Banyak dari mereka tidak mampu menjadi contoh, namun bisa memberi contoh dalam bentuk kata-kata atau hanyalah menasehati saja, tetapi tidak menghayati apalagi melakukan apa yang dinasehatkan. Cermati makna kata “memberi” dan “menjadi” contoh. Kehidupan lapisan masyarakat (para elit) yang seharusnya menjadi teladan, kini terjebak dalam kehidupan yang hipokrit. Pendidikan agama marak di mana-mana, baik dalam lingkungan masyarakat melalui perkumpulan keagamaan, sekolah maupun melalui berbagai media masa, dan sebagainya. Nampaknya saking maraknya pendidikan agama tersebut cenderung bersifat pengajaran, sebatas dapat melaksanakan secara ritual, vokal dan mekanistik belaka, belum mampu mengamalkan religiositas secara sosial dengan mengembangkan kesalehan sosial dan kerukunan sosial sebagai warga bangsa yang plural. Pendidikan budi pekerti diabaikan, dianggap pendidikan agama sudah cukup mencakup semuanya termasuk budi pekerti. Cermatilah para pelaku korupsi, selingkuh, atau pelaku pornografi lainnya yang kebetulan merambah pada (sementara) para legeslator juga. Montesquieu berpendapat, apabila korupsi merambah badan legeslatif, hal itu merupakan pertanda kerapuhan dan awal kejatuhan suatu negara. Diyakini masih tidak sedikit para legeslator yang bersih, namun ingat ungkapan “Nila setitik rusak susu sebelanga”. Berapa persen kandungan melamin susu import dari Cina, kiranya tidak terlalu besar, namun cukup membunuh banyak bayi dan merusak kesehatan orang banyak. Marilah kita mawas diri bersama!

Solusi yang ditawarkan

Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan hendaknya secara konsisten mendasarkan diri pada setiap peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya menjadikan Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2001 sebagai dasar moral setiap langkah pelaksanaan tugas sesuai dengan bidang masing-masing. Selanjutnya jadikanlah nilai Pancasila sebagai tolok ukur setiap pemecahan masalah yang dihadapi.

Jadikanlah pegangan ungkapan “salus populi suprima lex”, kesejahteraan masyarakat merupakan hukum tertingi, dalam setiap langkah pemikiran, perencanaan dan pelaksanaan tugas masing-masing.

Hindarilah sikap banalism, “asal jadi yang dimaui”, tanpa memikirkan akibatnya yang luas di kemudian hari baik bagi diri sendiri, maupun bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Pikirlah dalam-dalam secara introspektif dalam setiap usaha mengadakan perubahan atau pengaturan dan hindarkan pemikiran mencari kambing hitam. Hindari pula sikap menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tempuhlah cara yang wajar, nalar, musyawarah, mufakat, argumentatif, akademik, beretika dan bermoral, mengutamakan berkembangnya kesalehan sosial dan kerukunan berbangsa. Marilah hal-hal tersebut di atas kita praksiskan bersama, diawali dari diri kita sendiri masing-masing sebagai suatu niat untuk berbakti kepada masyarakat, bangsa dan negara agar dapat terhindar dari keterpurukan, termasuk ancaman bahaya “pornografi”.

Solusi yang ditawarkan secara umum tersebut kiranya berlaku juga dalam rangka perampungan penyusunan RUU Pornografi menjadi UU. Dengan segala kekurangan yang ada, gagasan ini diakhiri dengan ungkapan fenomenal dari Presiden J.F. Kennedy, “Ask what you can do for your country, don’t ask what your country can do for you”. Terimakasih dan Selamat (akan/tidak) datang Undang-undang Pornografi !

Jakarta, 17 September 2008

B. Parmanto,

Anggota LPPKB

Dimuat dalam Surat kabar Pelita, Jakarta, 25 Oktober 2008