Archive for February 2010

Jati Diri Pers Indonesia

February 1, 2010

JATI DIRI PERS INDONESIA

TENTU SAJA yang dimaksud dengan pers dalam tulisan ini adalah semua media yang digunakan sebagai sarana komunikasi secara massal (the media of mass communication) baik media cetak maupun media elektronik. Dengan mengamati permasalahan tentang pers di Indonesia akhir-akhir ini, menjadi pertanyaan bagi bangsa Indonesia: ke mana arah pers Indonesia hendak melangkah, pada saat ini maupun di masa depan ?

Semua itu terpulang kepada insan pers Indonesia sendiri, mau dibawa ke mana kehidupan pers Indonesia. Kehidupan pers adalah pencerminan dari kehidupan masyarakat di mana pers tersebut eksis. Jika kehidupan masyarakat sedang mengalami krisis maka dengan sendirinya pers juga terkena imbas krisis yang dialami masyarakatnya. Demikian pula kemerdekaan kehidupan masyarakat, misalnya kemerdekaan atau kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat baik secara lisan maupun tulisan, tercermin pula pada kemerdekaan pers yang dijamin dengan undang-undang. Tetapi yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah kemerdekaan atau kebebasan itu hanya demi kemerdekaan atau kebebasan semata-mata tanpa tujuan ? Karena pada hakikatnya kemerdekaan atau kebebasan pers tersebut sebenarnya hanyalah sarana untuk mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini pers Indonesia harus mempunyai semangat kebersamaan, semangat kekeluargaan dan semangat kegotong-royongan seperti semangat bangsanya. Pers juga harus mempunyai “rasa memiliki” (sens of belonging) terhadap cita-cita nasional bangsanya. Pers Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat dan kehidupan bangsa Indonesia !

Di Mana Pers Indonesia Berpijak ?

TANPA bermaksud menggurui atau mengarahkan namun hanya ingin mengingatkan kembali bahwa para pakar media masa dari Barat secara teoritis mengelompokkan pers menjadi empat golongan pers sesuai jamannya, yaitu pers otoriter, pers liberal, pers yang bertanggung jawab sosial dan pers komunis. Bagaimana menurut teori para pakar media masa Indonesia, apakah pers Indonesia dapat “dimasukkan” ke dalam salah satu dari keempat teori yang dikemukakan para pakar Barat tersebut ? Ataukah pers Indonesia memiliki ciri tersendiri yang tidak termasuk ke dalam empat teori itu ? Silakan dibahas.

Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm mengemukakan teori mereka masing-masing mengenai “Empat Teori Tentang Pers” dalam buku yang berjudul “Four Theories of the Press”, buku edisi bersama yang diterbitkan oleh the Board of Trustees of the University of Illinois, tahun 1956. Empat teori pers tersebut mengenai: (1) Teori tentang  Pers Otoritarian (The Authoritarian Theory oleh Fred. S. Siebert); (2) Teori tentang Pers Libertarian (The Libertarian Theory, oleh Fred S. Siebert); (3) Teori tentang Pers yang Bertanggung Jawab Sosial (The Social Responsibility Theory, oleh Theodore Peterson); dan (4) Teori tentang Pers Komunis (The Soviet Communist Theory, oleh Wilbur Schramm).

Baik insan pers maupun para pakar media masa sebenarnya bebas untuk menentukan penggolongan pers Indonesia ke dalam empat kelompok teori pers tersebut di atas. Akan tetapi dapat juga para pakar teori komunikasi masa Indonesia mengemukakan teori tersendiri mengenai pers Indonesia berdasarkan ciri khas pers Indonesia sebagai bagian dari bangsa Indonesia.  Alangkah baiknya !  Hal ini sangat dimungkinkan dan jadilah teori yang ke lima. Perlukah kita mengemukakan teori pers Indonesia tersendiri lepas dari keempat teori seperti yang telah dikemukakan di atas ? Sangat perlu ! Silakan para pakar dan insan pers menggagasnya.

Kedudukan pers dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki posisi kunci. Tidak salah almarhum wartawan senior Adinegoro mengungkapkan dalam salah satu tulisannya bahwa pers adalah ”ratu dunia”. Pakar teori pers Barat menyebut pers sebagai “the fourth estate”. “Estate” dalam khasanah ilmu pemerintahan dapat diartikan sebagai wilayah kewenangan. Pemerintahan negara, walaupun satu, dapat dibedakan menjadi tiga wilayah kewenangan (estate), yaitu wilayah kewenangan pemerintahan (eksekutif), wilayah kewengan pembentukan perundang-undangn (legislatif) dan wilayah kewenangan peradilan (yudikatif). Ketiga wilayah kewenangan dalam pemerintahan negara disebut “the third estate”. Meskipun bukan termasuk institusi kenegaraan atau pemerintahan negara, namun pers dipandang memiliki wilayah kewenangan melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah mewakili publik (khalayak). Wilayah kewenangan pers ini didaku oleh (claimed by) pihak pers sebagai “the fourth estate”.

Dengan bahasa awam pers disebut pula sebagai “the watch dog”. Pendakuan pers sebagai “kontrol sosial” atau sebagai “anjing penjaga” tersebut juga menimbulkan pertanyaan: “Lalu siapakah yang mengontrol pers ?” (“Who’s the watch dog of the watch dog”). Jadi walaupun sebagai pemegang kontrol sosial tetapi pers tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab sosialnya. Pers tidak dapat bertindak semaunya, tetapi segala tindakannya harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat. Jadi yang mengawasi pelaksana kontrol sosial adalah masyarakat sendiri, khalayak pembaca, khalayak pendengar atau khalayak pemirsa. Jadi pers harus berpijak pada tanggung jawabnya terhadap masyarakat.

Peran Pers Dalam Perjuangan Bangsa.

PERAN pers dalam setiap perjuangan suatu bangsa ternyata sangat besar dan strategis. Marilah kita lacak peran pers Indonesia dalam mengiringi atau bahkan mendampingi perjuangan bangsa Indonesia. Tanpa pers mungkin perjuangan membangkitan semangat kebangsaan bangsa Indonesia tidak pernah terwujud. Simak saja perjuangan bersenjata rakyat Indonesia untuk melepaskan diri ari penindasan penjajah, yang masih berkelompok dalam suku-suku bangsa, selalu dapat digagalkan dan ditumpas oleh pihak penjajah. Tetapi sejak dibangkitkannya semangat nasional bangsa Indonesia (1908) yang dipelopori oleh Wahidin Sudiro Husodo dan dilanjutkan oleh  Sutomo dan Cipto Mangunkusumo perjuangan kebangsaan yang damai (tanpa bersenjata) tetapi efektif menggelinding terus. Didukung dengan peran pers yang turut mengobarkan semangat kebangsaan, dalam satu generasi telah berbentuklah bangsa Indonesia (1928) yang terdiri atas suku-suku yang menghuni tanah (wilayah) dari Sabang sampai Merauke. Pers yang menggunakan bahasa persatuan bahasa Indonesia mampu merekat dan mengikat persatuan perjuangan bangsa Indonesia untuk mewujudkan negara-bangsa Indonesia, yang merdeka dan berdaulat (1945).

Pers pulalah yang mampu membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan yang telah diraih melawan usaha kembalinya penjajahan di Indonesia. Pepatah mengatakan bahwa pena lebih tajam dari senjata apapun. Misalnya, penjara Bastille di Perancis yang terkenal sebagai simbol kekuasaan monarkhi absolut yang berdiri kukuh dan tidak dapat diruntuhkan dengan senjata macam apapun, namun dapat runtuh oleh pena wartawan. Peristiwa dalam revolusi Perancis waktu itu selalu dijadikan contoh betapa tajamnya pena pers. Analoginya, sebenarnya pers memiliki kekuatan yang ampuh dengan menggalang opini publik, misalnya untuk melumpuhkan atau menjatuhkan suatu pemerintahan. Tetapi apakah itu tujuan pers Indonesia ? Tentu saja bukan !

Oleh karena itu peran pers yang kuat dan tangguh harus diarahkan untuk membangun bangsa guna mempercepat pewujudan kesejahteraan yang adil dan merata. Peran pers bagi bangsa Indonesia adalah untuk memerangi ketidak adilan, ketidak jujuran dan kegiatan-kegiatan lain dari siapapun yang mendholimi dan membohongi rakyat. Pers harus menjadi pelopor dan menjadi media pencerahan untuk memberdayakan rakyat yang sebenarnya adalah pemilik kedaulatan. Pers harus berperan menjadi pelopor terdepan dalam penegakan hukum, penegakan keadilan dan penegakan kedaulatan rakyat. Pers harus menjadi corong dan penyambung suara rakyat (vox populi).

Jati Diri Pers Indonesia.

TELAH dikemukakan bahwa pers adalah pencerminan dari kehidupan, dari sikap dan peri laku serta dari budaya masyarakat di mana pers tersebut berada. Oleh karenanya tidak dapat diingkari bahwa pers Indonesia pasti berbeda dengan pers negara lain. Dengan sendirinya pers Indonesia mempunyai ciri khas dan sifat khusus yang membedakan dengan pers negara lain. Ciri khas dan sifat khusus tersebut secara mudahnya kita sebut dengan identitas diri atau jati diri pers Indonesia.

Ciri khas dan sifat khusus tersebut karena bersumber dari kehidupan, dari sikap dan perilaku serta budaya bangsa maka secara sosiologis mengendap menjadi etika dan nilai moral yang menjadi acuan sikap dan peri laku pers Indonesia. Etika dan nilai moral yang merupakan sistem nilai dalam kehidupan pers Indonesia tersebut menjadi pula tata cara untuk mengatur dan menata sikap serta peri laku insan pers dalam kehidupan pelaksanaan atau aktualisasi profesinya yang dinamakan kode etik.

Jati diri yang juga menjadi kode etik pers Indonesia dapat dikelompokkan dalam lima prinsip sejalan dengan lima prinsip Pancasila sebagai wawasan kebangsaan bangsa Indonesia dan dasar negara Indonesia.

Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pers Indonesia tidak dibenarkan menyebarluaskan pendapat, pikiran atau gagasan baik secara tertulis maupun secara lisan, yang: (1) bertentangan dengan etika dan moral agama yang dipeluk oleh warga negara Indonesia atau warga negara lain; (2) melecehkan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diyakini oleh warga negara Indonesia atau warga negara lain; (3) menghujat Tuhan menurut agama dan kepercayaan yang dipeluk atau yang diyakini oleh warga negara Indonesia atau warga negara lain.

Kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab.

Pers Indonesia tidak dibenarkan menyebarluaskan pendapat, pikran atau gagasan baik secara tertulis maupun secara lisan, yang: (1) merendahkan kehormatan dan martabat kemanusiaan; (2) merendahkan kehormatan dan martabat pribadi seseorang; (3)  menghina dan merendahkan ras, suku bangsa atau bangsa tertentu; (4) merendahkan dan menghina keturunan, status sosial seseorang; (5) menghina dan merendahkan pekerjaan maupun profesi seseorang.

Ketiga, Persatuan Indonesia.

Pers Indonesia tidak dibenarkan menyebarluaskan pendapat, pikiran atau gagasan baik secara tertulis maupun secara lisan, yang: (1) menyebabkan atau mendorong terjadinya perpecahan nasional, yang meliputi perpecahan bangsa dan perpecahan wilayah negara; (2) menyebabkan dan mendorong terjadinya konflik antar ras, antar bangsa dan antar suku bangsa yang mengganggu persatuan Indonesia; (3) menyebabkan atau mendorong  pemisahan diri satu wilayah atau lebih, dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (4) memihak atau mendukung pihak yang berlawanan dan bertentangan secara konstitusional dengan Pemerintah Negara Republik Indonesia yang sah; (5) memihak atau mendukung negara lain yang mendorong perlawanan terhadap Pemerintah Negara Republik Indonesia yang sah; (6) memihak atau mendukung negara lain yang mendorong perpecahan nasional Indonesia.

Keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan.

Pers Indonesia tidak dibenarkan menyebarluaskan pendapat, pikiran atau gagasan baik secara tertulis maupun secara lisan, yang: (1) bersikap, berperi laku dan bertindak otoriter; (2) berpihak dan mendukung sikap, peri laku dan tindakan otoriter pihak tertentu; (3) membentuk opini publik untuk memvonis atau memojokkan pihak tertentu, tanpa mengungkapkan kebenaran secara akurat, rasional dan adil; (4) menyelesaikan masalah dan perbedaan pendapat tanpa musyawarah untuk mencapai permufakatan; (5) bersikap dan berperi laku sepihak, tanpa memperhatikan pendapat pihak lain walaupun pendapat tersebut bertentangan dengan pendirian pers sendiri; (6) bersikap dan bertindak netral untuk mengemukakan kebenaran. Pers harus berpihak kepada kebenaran secara jujur dan adil.

Kelima, dengan mewujudkan Keadilan Sosal Bagi Seluruh Rakyay Indonesia.

Pers Indonesia tidak dibenarkan menyebarluaskan pendapat, pikiran dan gagasan baik secara tertulis maupun secara lisan, yang: (1) bertentangan dengan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) memberikan dan mengusahakan kesejahteraan bagi satu kelompok atau golongan masyarakat saja, tanpa mempertimbangkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat; (3) mengabaikan usaha kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil; (4)  secara provokatif menimbulkan keresahan bagi masyarakat; (5) mengadu domba antar rakyat dan antara rakyat dengan pemerintah sehingga menimbulkan konflik horisontal dan vertikal; (6) bertentangan dengan keadilan dan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Demikian jati diri pers Indonesia yang sekaligus juga menjadi kode etik pers Indonesia. Dengan jati diri dan kode etik tersebut diharapkan pers Indonesia senantiasa seiring dengan aspirasi rakyat Indonesia. Pers Indonesia senantiasa tetap diharapkan berjuang bersama rakyat dan mendampingi rakyat. Itulah jiwa atau ruh pers Indonesia yang senantiasa mengawal dan mendampingi perjuangan rakyat.

Sekarang ini para pemimpin pemerintah dan pemimpin masyarakat, para wakil rakyat,  para elit politik dan elit masyarakat, para cendekiawan dan pers, satu per satu meninggalkan rakyat. Mereka sibuk dengan “perjuangan” untuk kelompoknya masing-masing. Siapa yang menemani dan mendampingi rakyat yang makin tidak berdaya sekarang ini ? Seharusnya pers Indonesia, bukan ?  Hernowo Hadiwonggo (LPPKB).